Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal

Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal
©Bukalapak

Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal

Ulasan Buku – Francis Fukuyama, seorang warga Amerika Serikat turunan Jepang, adalah ahli sosiologi yang mencoba menggunakan filsafat sejarah dari G.W.F. Hegel untuk memahami perkembangan masyarakat global—kontemporer. Mengingat bahwa Hegel sesungguhnya berbicara tentang masa-masa sebelum zaman kita, maka terlebih dahulu kita perlu memahami pokok-pokok pikiran Hegel.

George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) adalah salah satu dari sekian banyak ahli fisika Barat yang mencoba memberi penjelasan tentang makna sejarah. Upaya para ahli filsafat sejarah itu sesungguhnya sejajar dengan munculnya ilmu pengetahuan yang mencoba menjelaskan alam semesta dengan akal manusia (ratio)

Pertanyaan yang diajukan sejak zaman pencerahan itu sesungguhnya merupakan pertanyaan lama dengan jawaban yang baru yang sejalan dengan zamannya. Puluhan abad sebelumnya, para nabi dan rasul mengumandangkan jawaban-jawaban mereka atas pertanyaan itu. Khususnya di Eropa, jawaban atas hakikat dan makna sejarah itu terutama muncul dari agama Kristen seperti yang dirumuskan kembali terutama oleh Augustinus (350-430).

Namun jawaban yang bersumber pada ajaran agama Kristen itu tampaknya tidak lagi sejalan dengan alam pikiran intelektual yang ditandai sebagai Renaissance dan Pencerahan. Maka berturut-turut muncullah jawaban-jawaban yang bersifat profan, bermula dari pandangan progresif dari Giambattista Vico (1668-1744) dan Immanuel Kant (1724-1804), kemudian Johan Gottfried Herder (1744-1803) yang dipengaruhi romantik dan Hegel yang rasional.

Kemudian memang masih muncul yang lain seperti Karl Marx (1818-1883) dan sejumlah filsuf sejarah abad ke-20 yang pesimis seperti Oswald Spengler (1880-1936) dan Arnold Toynbee (1889-1975).

Para pakar setuju bahwa dibandingkan dengan para filsuf sejarah lainnya itu, Hegel sangat menonjol dan menduduki tempat tersendiri. Bahkan ada yang mengatakan bahwa dalam tulisan-tulisan Hegel, filsafat benar-benar bertemu dengan sejarah.

Keistimewaan Hegel pertama-tama adalah dalam pendapat bahwa sejarah adalah suatu proses yang rasional, dan sebab itu universal. Ini berarti bahwa makna sejarah yang dikemukakannya itu tidak saja menyangkut bangsa-bangsa tertentu atau lapisan sosial tertentu, tetapi menyangkut setiap orang yang ada, pernah ada, yang akan ada, tidak ada pengecualian. Sebab itulah falsafah sejarahnya disebutnya “Sejarah Universal”.

Keistimewaan kedua dari Hegel adalah pandangannya bahwa proses sejarah umat manusia secara keseluruhan itu menuju tujuan tertentu atau sejarah yang “terarah”.

Baca juga:

Ketiga adalah pendapatnya bahwa proses ke arah tujuan tertentu itu berlangsung secara dialektis. Proses dialektika itu memungkinkan hal-hal yang tidak rasional dari masa-masa tertentu dikoreksi atau dilenyapkan ketika menuju tahapan yang lebih baik.

Landasan Hegel itulah yang digunakan oleh Fukuyama untuk menginterpretasikan perkembangan masyarakat dunia dalam kurun waktu sekarang (kontemporer). Zaman kita itu adalah suatu proses globalisasi yang didorong oleh dua faktor yang sesungguhnya bertentangan.

Faktor pertama bersifat material dalam bentuk perkembangan ekonomi yang pada gilirannya didorong oleh pengetahuan alam. Faktor kedua bersifat spiritual yang dalam falsafah Plato dinamakan “thymos”, yaitu keinginan untuk diakui, dihargai, persamaan hak. Tujuan sejarah, atau akhir sejarah, adalah masyarakat kapitalis dengan sistem politik demokrasi liberal.

Buku Fukuyama ini merupakan suatu penjelasan yang sangat rasional mengenai perkembangan global mutakhir. Bila landasan pokoknya seperti disebut di atas (ekonomi dan thymos) diterima, maka buku ini menjadi bacaan yang menarik dan bisa memberi penjelasan yang menyeluruh tentang keadaan sekarang.

Namun demikian, penjelasan ini juga bersifat deterministik karena menempatkan nasib manusia dalam suatu kerangka umum yang telah ditentukan sebelumnya dan yang tidak dapat tiada harus berkembang menuju satu titik akhir yang juga telah dipatok sebelumnya.

Dalam kaitan itu, sesungguhnya cara interpretasi sejarah seperti ini sesungguhnya sudah banyak ditinggalkan oleh para ahli sejarah profesional. Dalam pandangan sejarah yang deterministik itu, manusia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasib sendiri, tetapi hidupnya telah ditentukan dari luar dirinya.

Falsafah sejarah yang muncul sejak abad ke-18 dengan falsafah sejarah Hegel sebagai puncaknya sesungguhnya memanfaatkan manusia sebagai wahana untuk mewujudkan suatu gagasan tertentu yang telah dirancang sebelumnya, seperti yang dikemukakan oleh Hegel yang disesuaikan dengan kondisi Jerman abad ke-19; ataupun seperti versi Fukuyama yang menekankan pada kapitalisme dan demokrasi.

Ilmu sejarah di masa kini justru mengambil titik-tolak yang lain, bahkan yang bertolak belakang. Dalam pengertian ilmu sejarah, proses sejarah bukanlah “objektivitas yang utuh” dengan teologi yang sudah pasti dan telah ditentukan sebelumnya seperti dikemukan Hegel. Tetapi, sejarah adalah suatu proses terbuka dengan berbagai kemungkinan di masa datang.

Halaman selanjutnya >>>