
Dengan prinsip kebebasan konstitusional, pembatasan menjadi sesuatu yang muncul dengan sendirinya tanpa harus kita paksakan—sebagai konsekuensi logis yang niscaya manakala sebuah kebebasan berjumpa dengan kebebasan yang lain.
Paradoks Kehidupan Beragama
Mayoritas pemikir abad 19 dan 20 memprediksi bahwa seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, agama akan makin terpinggirkan, bahkan musnah. Lalu muncullah konsepsi tentang privatisasi agama dalam kehidupan modern.
Auguste Comte meramalkan bahwa masa depan adalah masa kaum positivis-saintis, masa teologis segera akan menjadi masa lalu. Karl Marx menyistematisasi perkembangan sejarah yang berakhir dengan terbentuknya masyarakat komunis internasional; memperlihatkan ketidakrelevanan agama dalam kehidupan publik akan makin diakui.
Max Weber meramalkan makin merebaknya kesadaran rasional individu, yang secara langsung mengikis motivasi teologis dalam kehidupan. Peter L. Berger, kendati kemudian mengubah pendiriannya, menyatakan bahwa kecakapan manusia dalam bentuk ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni benar-benar akan makin menggantikan posisi agama, baik dalam hal informasi kebenaran ilmu pengetahuan maupun pemenuhan ketenangan jiwa.
Masa depan pelbagai ramalan itu tampak suram ketika berhadapan dengan fakta bahwa kehidupan religius masyarakat modern makin meningkat. Dengan mata telanjang, kita dapat menyaksikan bagaimana masyarakat kota dan pedesaan makin religius. Untuk konteks Indonesia, trikotomi santri, abangan, dan priyayi tampak tidak relevan, sebab kaum abangan dan priyayi sudah makin religius, bahkan melampaui religiositas kaum santri.
Fenomena ini juga bisa kita simpulkan sebagai merebaknya gerakan santrinisasi. Peningkatan religiositas ini dapat kita ukur dengan fakta bahwa makin banyak kaum perempuan Islam yang mengenakan jilbab; makin ramainya tempat-tempat ibadah; meningkatnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan ibadah; makin banyak dan kuatnya komitmen masyarakat terhadap agama; dan lain-lain.
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, melalui survei nasional tahun 1999, 2000, 2001, 2002 dan 2003, membuktikan tentang trend kenaikan religiositas tersebut per tahun. Realitas ini tampak paradoks dengan tingkat intoleransi yang juga makin meningkat setiap tahun.
Tahun 2005, PPIM, Freedom Institute, dan Jaringan Islam Liberal mengumumkan hasil survei tentang tingkat toleransi masyarakat Indonesia. Sebanyak 51 persen responden muslim menyatakan keberatan kalau orang Kristen membangun rumah ibadah di daerah yang berpenduduk mayoritas muslim. 41 persen yang menyatakan keberatan jika orang Kristen mengadakan kegiatan keagamaan di daerah muslim.
Sebanyak 25 persen responden muslim menyatakan keberatan jika orang Kristen menjadi guru di sekolah negeri. Yang lebih ekstrem adalah bahwa ada 17 persen responden yang menyatakan dukungan terhadap gerakan terorisme (seperti pemboman) yang Amrozi dan kawan-kawan lakukan.
Baca juga:
- Meretas Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Praksis Kebebasan Beragama di Indonesia
- UU Penodaan Agama dan Kebebasan Hakiki
Paradoks ini tampak kian terang ketika mengamati doktrin agama yang sebetulnya lebih banyak tidak mendukung intoleransi ini. Quran surah (QS) 3: 64 mengingatkan agar kaum Muslim dan Ahli Kitab berpegang kepada ketetapan di mana perselisihan tidak terjadi antara kami (muslim) dan kamu (ahli kitab). Ketetapan yang sama itu meliputi bahwa tidak ada yang umat sembah melainkan Allah yang Esa dan seruan untuk menebarkan kebajikan di muka bumi.
Doktrin serupa ada dalam setiap agama. Sayang, doktrin seperti ini tidak tersosialisasi dengan baik dalam kehidupan riil masyarakat religius Indonesia. Pada titik ekstrem, bisa kita simpulkan, peningkatan religiositas masyarakat Indonesia berkorelasi positif dengan peningkatan intoleransi.
Kebebasan Konstitusional
Paradoks ini tentu bisa kita atasi dengan mengedepankan kesadaran bahwa perbedaan adalah sesuatu yang niscaya dalam kehidupan. Sebagai sebuah fakta, pluralitas atau kemajemukan yang menandai eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa sejatinya adalah sebuah anugerah yang harus kita terima, syukuri, dan lestarikan.
Pluralitas tidak musti berujung pada relativitas nilai sebagaimana kerap menjadi kekhawatiran sebagian pihak. Relativitas tersebut hanya membuat semua unsur masyarakat akan berbenturan dan terlibat konflik.
Karena bagaimanapun, pada tataran publik, terdapat sebuah universalitas yang dapat mengikat semua sistem nilai dalam kesatuan. Di antaranya, pengakuan dan penghargaan terhadap realitas lain yang berbeda, yang memang tidak harus kita samakan—sebagaimana juga tidak semestinya kita beda-bedakan atau diskriminasikan.
Dengan demikian, apa yang sesungguhnya penting kita upayakan ialah bagaimana menciptakan ruang publik yang dapat memberikan pelayanan yang sama bagi semua kepentingan dan nilai untuk hidup dan berkembang. Dalam konteks ini, kedisiplinan dan keteraturan yang berlandaskan pada prinsip kebebasan konstitusional harus terlebih dahulu kita kedepankan.
Karena di atas fondasi yang demikian itulah pelayanan yang sama terhadap semua nilai dan kepentingan dapat kita lakukan.
Halaman selanjutnya >>>
- Homoseksualitas Bukan Kejahatan - 28 Januari 2023
- Pidato Megawati - 12 Januari 2023
- Hate Crime - 13 Juni 2022