Agama sebagai Kontrol Sosial

Agama sebagai Kontrol Sosial
©Sociometry

Agama harus kita pahami sebagai institusi atau lembaga kontrol sosial yang paling utama dalam merajut hubungan sosial.

Agama turun dengan karakteristik yang mengajarkan cinta dan kasih sayang kepada semua makhluk tanpa pengecualian. Makna kasih sayang adalah mencintai dalam hal apa pun sehingga tercipta suasana yang kondusif, aman, dan nyaman.

Dalam hal ini dapat kita pahami bahwa agama berfungsi sebagai kontrol sosial. Agama mampu menyejahterakan kehidupan manusia di dunia. Namun, berbanding terbalik dengan realitas di era milenial ini yang justru agama seolah menjadi sumber perpecahan, banyak kekerasan dan kerusakan mengatasnamakan agama.

Semua tindakan berawal dari sebuah pemahaman, termasuk tindakan sebagai umat beragama. Hingga saat ini, tindakan umat beragama cenderung terbagi menjadi dua; ada yang makin paham agama makin lembut perangainya, dan ada pula yang makin (merasa) paham makin tertutup cara berpikirnya, bahkan hingga melahirkan radikalisme-radikalisme agama.

Dalam Religion and Social Teory, Bryan S. Turner menawarkan teori-teori sosiologi agama, termasuk membahas agama sebagai kontrol sosial. Turner menegaskan bahwa para sosiolog agama bersepakat menempatkan agama sebagai perekat sosial yang merekatkan potensi-potensi antagonistik antarindividu atau sebagai candu sosial yang menekan konflik kepentingan antarkelompok yang cenderung antagonistik.

Tulisan ini akan secara singkat mendiskusikan tawaran Turner tersebut.

Ekonomi dan Seksualitas dalam Agama

Agama perlu kita pahami bukan hanya sebagai penghubung antara hamba dan Tuhan secara individual. Ia juga harus kita pahami sebagai pendongkrak peradaban, yakni sebuah usaha mempertahankan kohesi sosial. Selanjutnya, agama juga harus kita pahami sebagai institusi atau lembaga kontrol sosial yang paling utama dalam merajut hubungan sosial.

Menurut Turner, ekonomi dan seksualitas merupakan pembahasan yang sering menjebak umat beragama dalam memahami agamanya. Dalam artian, sering kali agama menjadi alat legitimasi ketidakadilan dalam bidang ekonomi dan seksualitas.

Relasi agama dan ekonomi, secara historis, agama berperan penting dalam mendistribusikan dan mengontrol harta benda dalam masyarakat. Peran ini dimainkan melalui keyakinan dan institusi-institusi yang sudah tersedia dan sangat cocok untuk mengontrol kehidupan instingtual manusia.

Baca juga:

Turner membahas peran dan pengaruh pendidikan moral kristen menyangkut masalah seksualitas dan kehidupan keluarga terhadap perkembangan hubungan harta dalam masyarakat Eropa. Hubungan ini biasanya dipaparkan lewat analisis dampak asketisisme terhadap relasi produksi kapitalis yang dapat kita temui dalam buku-buku karya Max Weber.

Turner membandingkan perspektif Friedrich Engels dengan Max Weber tentang institusionalisasi seksualitas manusia di dalam sistem produksi ekonomi. Untuk mencari definisi “konsepsi materialis” tentang sejarah, Friedrich Engels mengatakan bahwa reproduksi manusia sebagai dimensi paling fundamental dari produksi dan reproduksi “kehidupan nyata”.

Proses ini berkarakter ganda. Pertama, adanya produksi alat-alat subsistem (perkakas, pangan, sandang, dan papah). Kedua, adanya produksi manusia itu sendiri, pengembang-biakan spesies.

Max Weber juga menanggapi masalah hubungan keluarga dan ekonomi yang tidak terlalu berkembang. Dalam Economy and Society, Max Weber membahas berbagai aspek hubungan kelompok-kelompok keturunan dengan harta, khususnya menyangkut tanah dan wanita sebagai bagian dari kekayaan.

Di samping untuk memberikan konsep formal bagi analisis ekonomi, Weber juga cenderung menolak pandangan evolusionis terhadap perkembangan sistem kekeluargaan, mulai dari matriarki, abduksi, sampai pada patriarki.

Dalam memahami agama dan seksualitas, banyak perspektif komparatif yang mengatakan bahwa ajaran agama yang menyangkut seksualitas manusia memiliki banyak bentuk, mulai dari penolakan total sampai pada orgi.

Dalam paradigma Sociology of Religion, Max Weber membedakan antara pelarian mistik dari seksualitas dengan pengekangan asketis terhadap kehidupan instingtual. Namun begitu, ajaran agamalah yang kemudian menjadi pusat perhatiannya yang utama, karena dorongan seksual adalah puncak nafsu manusia.

Weber memandang hal ini sebagai masalah yang sangat pelik bila kita kaitkan dengan penyelamatan (salvation) yang manusia cari-cari. Larangan-larangan asketik rasional, pengendalian diri, dan perencanaan hidup secara metodik berasal dari aktus seksual yang sangat irasional, yang sebenarnya, dan anehnya, tidaklah bisa manusia libatkan ke dalam organisasi rasional. (Weber, 1996: 238)

Halaman selanjutnya >>>

Muhammad Nasrullah
Latest posts by Muhammad Nasrullah (see all)