Dalam dunia politik dan bisnis Indonesia, nama Basuki Tjahaja Purnama, yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok, selalu menghadirkan perbincangan yang hangat. Figur yang karismatik ini tidak hanya mencuri perhatian publik saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, tetapi juga ketika nama beliau kembali mencuat sebagai kandidat potensial untuk posisi Direktur Utama Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pertanyaan yang menggelitik muncul di benak masyarakat: “Apakah Ahok, dengan gaya kepemimpinannya yang tegas dan kontroversial, siap untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar?” Dalam konteks ini, ungkapan, “Ahok Kalau Tak Berani Eksekusi,” menjadi lebih relevan dan menantang untuk ditelaah.
Ketika membahas tentang kekosongan dan tantangan dalam posisi Dirut BUMN, kita mesti menilik lebih dalam. Dalam pandangan masyarakat, sosok Dirut BUMN itu haruslah seorang pemimpin yang tidak hanya berani, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengeksekusi kebijakan dan arahan strategis secara efektif. Dalam hal ini, Ahok bisa dianggap sebagai sosok yang tepat, yet pertanyaan yang lebih mendasar perlu diajukan: Apakah ketegasan Ahok itu cukup untuk mengemban tanggung jawab besar ini?
Kita bisa menggambar sebuah metafora: menjadi Dirut BUMN akin dengan memegang kendali kapal besar di tengah badai. Akan ada banyak angin kencang yang berusaha mendorong ke arah yang tak terduga. Kapten kapal yang kaku dan takut menjelajahi ombak tidak akan pernah sampai ke pelabuhan tujuan. Demikian juga, seorang Dirut BUMN yang tidak berani mengambil keputusan dalam situasi sulit akan membawa perusahaan tersebut menuju kebangkrutan.
Pentingnya keberanian dalam mengambil keputusan bisa dibandingkan dengan semangat petarung di dalam arena. Seorang petarung yang ragu untuk melangkah maju, akan kalah sebelum bertanding. Taktik dan strategi mungkin penting, tetapi keberanian untuk bertindak menjadi kunci utama. Dengan latar belakang dan pengalaman yang Ahok miliki, banyak yang berharap bahwa ia dapat mengaplikasikan machiavellianism dalam memimpin BUMN, adaptif, dan pragmatis.
Namun, tanggung jawab yang besar bukanlah tanpa risiko. Memimpin BUMN di Indonesia berarti harus menghadapi berbagai tantangan kompleks, mulai dari birokrasi yang rumit hingga kebutuhan untuk menjalin komunikasi yang efektif dengan berbagai stakeholders. Apakah Ahok siap mengambil risiko tersebut? Apakah keberaniannya dalam membuat keputusan tidak hanya terjebak pada retorika, tetapi juga terbukti dalam tindakan nyata?
Ahok, yang dikenal dengan gaya kepemimpinannya yang blak-blakan dan penuh kontroversi, selalu membuat perdebatan terbuka tentang manifesto-nya. Dalam dunia semacam ini, bisa dikatakan bahwa ketidakpastian adalah teman sejati. Dalam bisnis, hal ini sangat krusial. Rupa-rupanya, ada nuansa ketidakpastian yang melekat pada wajah manajemen BUMN, terutama ketika banyak yang berharap akan adanya inovasi dan perubahan. Namun, pertanyaannya, apakah Ahok dapat membebaskan diri dari citra masa lalu dan mengorientasikan visinya ke masa depan yang lebih termasuk dan progresif?
Ahok memiliki banyak pengagum, namun juga tak sedikit yang mengkritiknya. The dichotomy antara pencinta dan pembencinya menjadi tantangan tersendiri. Dalam konteks ini, penting bagi Ahok untuk menghadapi beban ekspektasi yang tinggi. Menghadapi dua kutub opini publik bukanlah hal yang mudah. Seandainya dia terpilih, bagaimana ia dapat mengelola harapan-harapan ini? Mengedepankan dialog dan transparansi seharusnya menjadi prioritas utamanya, dalam rangka membangun kepercayaan di kalangan masyarakat dan karyawan. Komunikasi yang baik adalah jembatan ke seluruh permasalahan yang kompleks.
Dengan potensi dan keberanian yang dimilikinya, Ahok perlu memahami bahwa gelora konflik dan tantangan tidak akan berhenti di ambang pintu BUMN. Dia tidak hanya harus mampu merumuskan strategi, tetapi juga mengimplementasikan rencana tersebut secara berhasil. Menjadi eksekutor adalah hal yang berbeda, dan di situlah letak tantangan yang sesungguhnya. Dalam situasi seperti ini, sinergi antara keberanian dan kecerdasan administratif bisa jadi adalah kunci untuk menjelajahi lautan penuh gelombang.
Keputusan untuk mencalonkan diri sebagai Dirut BUMN bukan hanya sekadar langkah politik belaka; ini adalah panggilan untuk memimpin. Langkah itu harus diiringi dengan keberanian untuk bereksekusi dan mempertanggungjawabkan hasilnya. Ahok, jika berpikir bahwa ia dapat mengubah arah BUMN tanpa tindakan nyata, maka ia akan disajikan dengan kenyataan pahit. Sinkronisasi antara kata dan perbuatan adalah bentuk kejujuran yang harus dimiliki olehnya. Oleh karena itu, jika tidak berani beraksi, sebaiknya jangan melangkah masuk ke dalam arena.
Bagi Ahok, tantangan adalah peluang. Dalam perjalanan menjadi Dirut BUMN, keberaniannya untuk mengeksekusi ide dan kebijakan yang berani akan menentukan nasib tidak hanya dirinya, tetapi juga masa depan BUMN. Eksekusi yang berani bisa jadi adalah penggerak utama untuk memicu inovasi dan transformasi di dalam tubuh BUMN, bukan sekadar lembaga yang beroperasi karena tradisi. Jika Ahok benar-benar berani, maka ia harus siap untuk menjalani perjalanan panjang yang sarat risiko, namun penuh harapan.






