
Rekan-rekan yang baik, saya dan beberapa kawan mengajak Anda untuk menyertakan nama Anda dalam Kelompok Pembela Korban Kejahatan Seks (KPKS). Kelompok ini adalah sebuah koalisi longgar yang terdiri dari dosen, aktivis LSM, calon legislatif, ibu rumah tangga, aktivis perempuan, dan lain sebagainya.
Kami saat ini sedang melakukan pembelaan terhadap seorang perempuan (27 tahun) bernama Rizky Amelia yang diduga keras menjadi korban kejahatan seks di tempat kerjanya, Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan (Dewas BPJS-TK).
Terduga pelaku adalah seorang anggota Dewas BPJS-TK, berusia 59 tahun, memiliki istri dan dua anak. Diduga, telah terjadi berbagai bentuk pencabulan, termasuk empat kali pemaksaan hubungan seks, dalam kurun waktu September 2016 sampai November 2018.
Korban telah mencoba melaporkan kejahatan seks terhadap dirinya pada anggota Dewas sejak pertama kali kekerasan seks terjadi pada September 2016. Namun laporan tersebut diabaikan begitu saja dan tidak ditindaklanjuti.
Korban telah melakukan percobaan bunuh diri di awal November. Setelah berhasil diselamatkan, korban bertekad untuk melawan.
Untuk itu, pada akhir November, dia melaporkan kejahatan seksual yang menimpa dirinya kepada Ketua Dewas. Namun yang terjadi adalah korban diminta mengundurkan diri. Kemudian setelah korban menolak permintaan itu, dia malah diskors dan diminta untuk menandatangani perjanjian bersama berisi Pemutusan Hubungan Kerja.
Karena itu, kami berinisiatif membela korban. Tanpa berinduk atau berafilisasi pada organisasi mana pun, kami melakukan advokasi untuk memperjuangkan keadilan atas diri korban.
Sejumlah hal telah dilakukan: menyurati Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk mengeluarkan rekomendasi untuk memberhentikan terduga pelaku; menyurati Presiden untuk memberhentikan terduga pelaku; menyurati Menteri Keuangan untuk menarik terduga pelaku dari posisi di Dewas BPJS-TK; dan menyurati Komisi IX DPR untuk melaporkan dugaan kejahatan seks.
Di sisi hukum, kuasa hukum korban telah mengadukan terduga pelaku ke polisi dengan menggunakan tuntutan hukum pidana pasal 294 ayat 2 (“pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan bawahannya”..).
Di luar itu, ada pula petisi di change.org (bukan atas inisiatif kami) untuk memenjarakan terduga pelaku. Sampai saat ini ditulis, sudah ada lebih dari 6.500 penandatangan petisi.
Pada akhir Desember, Dewas BPJS-TK memang telah menyatakan bahwa terduga pelaku di non-aktifkan. Namun atas dasar alasan agar terduga pelaku dapat memfokuskan perhatian pada ‘masalah pribadi’-nya.
Demikian pula terduga pelaku menyatakan mengundurkan diri dari Dewas BPJS-TK dengan alasan akan memfokuskan perhatian pada soal gugatan terhadapnya. Terduga pelaku juga mengancam akan menuntut balik korban dan kami sebagai kelompok yang mendampingi korban.
Dalam kaitan perkembangan itu, kami ingin mengajak kawan-kawan semua untuk turut mendukung KPKS, dalam hal memperjuangkan hal-hal berikut:
a. Menjaga agar proses hukum terhadap terduga pelaku berjalan dengan baik dan benar
b. KPKS meminta pertanggungjawaban Dewas dalam hal keadilan terhadap korban. Dewas harus bisa menjelaskan mengapa mendiamkan dan tidak menindaklanjuti aduan korban sejak 2016.
c. KPKS meminta Dewas menjelaskan mengapa ketika korban melakukan pengaduan pada akhir 2018, Dewas justru meminta korban mengundurkan diri, dan kemudan Dewas memutuskan untuk menskors dan memPHK korban. KPKS melihat ada pembiaran dan perlindungan yang diberikan Dewas BPJS TK secara bersama-sama terhadap terduga pelaku. KPKS melihat Dewas secara bersama-sama sudah memutuskan bahwa korban adalah pihak yang bersalah.
d. KPKS meminta Dewas menjelaskan mengapa menonaktifkan terduga pelaku dengan alasan agar terduga pelaku dan korban dapat menyelesaikan ‘masalah pribadi’. KPKS mempertanyakan mengapa adanya dugaan perbuatan cabul antara seorang anggota Dewas dengan bawahannya dengan memanfaatkan fasilitas yang disediakan negara (pemaksaan hubungan seksual hampir selalu terjadi dalam perjalanan dinas) dapat disebut sebagai ‘masalah pribadi’.
e. KPKS meminta Dewas menganulir skors yang sudah diberikan kepada korban.
f. KPKS meminta Dewas memulihkan nama baik korban.
g. KPKS meminta Dewas dan direksi BPJS TK menjamin agar korban tidak menjadi objek perundungan di tempat kerja seandainya korban kembali bekerja. Ini diperlukan mengingat saat ini saja, korban telah menjadi sasaran peundungan yang dilakukan sesama karyawan Dewas BPJS TK melalui medsos. Sebelum jaminan ini tersedia, korban diminta untuk tidak kembali bekerja. KPKS meminta agar korban tidak kembali ke tempat kerja asal melainkan mendapatkan tempat di BPJS-TK (bukan di Dewas BPJS-TK).
h. KPKS juga melihat Dewas sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan korban. Yang berhak memPHK korban adalah direksi BPJS. Dan ini tampaknya terkait dengan kesalahan dalam sistem rekrutmen tenaga kerja yang dilakukan Dewas pada 2016.
i. KPKS juga akan berkirim surat tentang sikap tidak bertanggungjawab Dewas BPJS-TK dalam hal penanganan kasus korban maupun masalah-masalah mismanajemen yang dilakukan Dewas selama ini kepada DJSN.
Pada hari Senin (7/1), KPKS akan berusaha menemui Dewas BPJS TK dan Direksi BPJS TK untuk menyampaikan permintaan kami ini. Kami akan sangat berterima kasih seandainya kawan-kawan bersedia untuk mencantumkan nama Anda sebagai anggota Kelompok Pembela Korban Kejahatan Seks (KPKS).
Anda tinggal mencantumkan nama lengkap Anda plus identitas tentang diri Anda, misalnya Ade Armando (Dosen UI), atau Ade Armando (pemerhati kesenian), atau Ade Armando (wiraswastawan) atau Ani Armando (ibu rumah tangga), dan sebagainya.
Bila bersedia, silakan kirim nama Anda ke salah satu nomor WA berikut:
Ade Armando (0818179479)
Aisha Nadira (0811909408)
Irwan Amrizal (081807252492)
Berlyantin (085701147563)
Dela (082114609985)
Kami akan terus update perkembangan terakhir.
Terima kasih
a/n KPKS
Ade Armando,
Dosen Universitas Indonesia
Dosen tidak tetap Universitas Pelita Harapan
- Jika Pasangan Amin Maju, Hanya 16,5 Persen Warga Akan Memilih - 22 September 2023
- Figur Presiden Lebih Kuat daripada Partai Politik - 8 September 2023
- Rakyat Indonesia Menolak MPR Jadi Lembaga Tertinggi Negara - 27 Agustus 2023