Aktivis Muda di Ruang Kepemimpinan Politik

Di Indonesia, para kaum yang dulunya menjadi aktivis muda memegang hampir semua lini kekuasaan. Tindak-tanduk mereka yang kebanyakan masyarakat anggap sangatlah buruk membuat ruang politik dengan segala pernak-perniknya, bahkan termasuk di dalamnya istilah politik, menjadi hal yang tabu oleh masyarakat.

Celakanya, anggapan demikian juga menjangkiti nalar para aktivis muda yang notabene kita klaim memiliki kesadaran di atas segalanya. Akhirnya, yang terjadi adalah sinisme menjadi hal yang tidak bisa kita elakkan. Dan membagi gerakan aktivis muda menjadi dua badan semu, yakni gerakan moral dan gerakan politik.

Kedua gerakan tersebut kita pandang sebagai dualisme yang tidak bisa tersatukan. Yang pertama merupakan perjuangan hati nurani, sedangkan yang kedua hanya menjadi loncatan transaksi kepentingan yang korup. Pembagian dalam bentuk dualisme tersebut tidak murni sebagai landasan ilmiah. Melainkan hanya merupakan anggapan oknum yang terintervensi oleh kondisi sosial-politik yang ada pada ruang tertentu.

Keniscayaan Pemimpin Muda

Indonesia merupakan negara dengan jumlah kaum mudanya mencapai angka yang sangat tinggi. Meledaknya usia muda atau yang kita kenal dengan istilah Bonus Demografi terprediksi akan terjadi di Indonesia pada 2025-2040.

Secara sosiologis, mungkin bonus tersebut tidak berdampak terlalu besar ketimbang dampaknya secara politik. Hal demikian karena politik telah menjadi tidak hanya kajian keilmuan, melainkan aktivitas keseharian dan pertautan kepentingan sosial.

Jika bonus demografi secara politik tidak segera kita persiapkan arah orientasinya, yang terjadi adalah instabilitas politik akibat kesejahteraan sosial tidak terpenuhi. Termasuk di dalamnya pemuda mengganggur masih saja menjadi yang paling tinggi angka tanda bahayanya.

Di tengah logika ekonomi dunia, pemuda sebagai kelompok manusia dengan usia yang sudah terbatasnya sekaligus menjadi lumbung peredaran barang pasar. Bahkan, di beberapa negara, pemuda jarang sekali terlibat dalam proses pengambilan kebijakan. Anggapan bahwa pemuda memiliki sifat liar oleh karenanya belum bisa mendapat tanggung jawab di sektor pengambilan kebijakan membuat para negara collaps akibat kekosongan generasi di kemudian hari.

Ketakutan masa lalu saat penguasa menembaki berbagai aktivis muda, seperti China dan Orde Baru Indonesia, menjadi momok yang harus segera kita hilangkan lewat keterbukaan sistem politik bagi munculnya suara dari berbagai kalangan, termasuk kaum muda. Wajah perpolitikan yang generasi tua kuasai, meskipun dulunya termasuk dalam golongan aktivis muda, dengan menampakkan baju monopoli kekuasaan dan oligarki golongan elite, menjadi PR yang harus aktivis muda dobrak.

Baca juga:

Di atas telah saya kemukakan dikotomi akut antara moral dan politik. Paradigma biner tersebut dalam teori dan gerakan ternyata terbantahkan dengan sendirinya, karena memang sifat keduanya yang tentu bisa kita satukan.

Secara akademik, muncul kembali kajian Politik Profetik dan Etika Politik. Kajian tersebut nyata menjadi spirit utama terhadap lahirnya gerakan politik yang dirancang berdasar intelektual-spiritual dan berpijak pada prinsip moral-sosial.

Kepemimpinan politik oleh aktivis muda menjadi hal yang niscaya tatkala seluruh pemuda terbuka kesadaran politiknya. Dan masyarakat serta sistem yang mengatur telah bersedia menerima keberadaannya.

Pendapat yang mengatakan aktivis muda di gelanggang politik sebagai pengkhianat—menjadi budak penguasa, dengan tidak berani bersuara—dan elitis. Menurut Gaetano Mosca, elite adalah mereka yang berada di lingkaran pemegang kuasa—tidak akan berguna jika aktivis muda menempatkan diri sebagai pelopor. Bahkan kalaupun harus membuat blok untuk menandingi gaya politik transaksional yang mayoritas generasi tua mainkan.

Akhirnya, “tetapi masuknya kaum cerdik pandai ke gelanggang politik bukan cuma karena golongan lain dalam masyarakat tidak mau lagi bertanggung jawab. Mereka masuk justru karena terasa ada panggilan dari dalam dan ada dorongan yang positif dari luar.” (Edward Shils).

*Ferhadz Ammar Muhammad, Co. Biro Penelitian dan Pengembangan PK. PMII Pondok Sahabat

Kontributor