
Di hadapan cermin faktisitas, tubuhku hanya angin lalu. Tubuhku adalah tubuh fana. Ia tak kekal. Adanya di dalam dunia hanya sementara. Pada waktunya kulit mengeriput. Darah berhenti mengalir. Jantung berhenti berdetak. Tubuh dingin dan kaku. Ia hanya angin lalu. Berlalu lalu hampa.
Aku berkaca: tubuhku hanya angin lalu. Kaca itu ada di setiap sisi. Kaca kehidupan yang aktual dan paradoksal. Ia memberiku bayangan yang terang tentang hidup. Di situ suasana kematian juga jelasnya adanya. Kematian di masa lalu. Kematian di masa depan. Kematian di timur. Kematian di barat. Sahabat dekat telah berpulang. Tetangga lekas berpamit abadi. Iya, warta pandemi ini adalah: kematian tubuh.
Tubuh kita tak pernah lestari. Ia tak abadi di bumi. Ia singgah sebentar saja. Lalu kembali ke balik ke-entah-an. Virus korona menyerang sistem pernapasan dari tubuh. Aktivitas paru-paru bisa dibatalkan oleh Covid-19. Tenggorakan terasa sakit. Hidung tersumbat. Sirkulasi oksigen di dalam tubuh terhambat. Sesak napas! Tubuh menghadapi bencana internal anatomis yang berbahaya. Jika tidak tertolong, tubuh berhenti di situ. Tak bernyawa! Ia hanya angin lalu.
Aku ingat nada eksistensialisme Chairil Anwar. Begitu jelas terlukis gambar diri yang dilanda kecemasan, penderitaan, dan putus asa. Nada itu datang dari puisi “Selamat Tinggal” yang Chairil tulis dalam bukunya Deru Campur Debu (1959:9). Saya kutip puisi itu.
Selamat Tinggal
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
dalam hatiku?
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah…….!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal…….!!
Selamat tinggal……….!!
Tanda seru itu menyeruhkan gerah dan riuh batin. Gairah yang tak lagi ramah. Hidup yang buntu. Suara hati seperti terpecah sebab kudengar seru menderu/dalam hatiku. Tak karuan. Suara apa suara siapa. Lalu jawabannya adalah sebuah tanya – apa hanya angin lalu? Tetap belum jelas suasana hati oleh karena lagu lain pula/mengelapar tengah malam buta. Tinggal suara minor dari rasa sakit yang semakin meninggi. Seperti kresendo kepedihan yang akut. Ah…!!/Segala menebal, segala mengental.
Berikut adalah keterangan terakhir dari pencarian identitas yang tak selesai. Segala tak kukenal…!!/Selamat tinggal…! Dengan ini anonimitas menjadi jelas bahwa aku yang berkaca adalah aku yang paradoksal. Hidup hanya seperti kaca pembesar yang memperjelas huruf-huruf luka. Aku yang berada di hadapan kehidupan yang kaya dengan luka dan derita adalah aku yang anonim. Ini muka penuh luka/Siapa punya? Tubuh yang terluka belum tentu ikhlas diterima semua orang.
Di depan kaca penderitaan, aku belum tentu melapangkan hati menerima diri. Tubuh yang terluka banyak kali ditolak. Meskipun sudah jelas keadaan kritis dan kriris, tetap saja aku menolak itu dan cepat sekali hilang harapan lalu menyerah.
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal…!!
Selamat tinggal…!
Pandemi Covid-19 jika dibayangkan sebagai cermin faktisitas, bisa jadi yang terlihat ialah segala yang menebal, segala yang mengental. Kita tak lagi mengenal siapa yang meninggal dunia. Lalu dari lubuk sunyi hati ucapkan selamat tinggal. Barangkali di cermin itu kita melihat tubuh kita yang penuh luka: kerapuhan fisiologis yang kadang sulit kita terima.
Meskipun demikian, situasi pandemi memberi peluang untuk refleksi tentang tubuh. Aku menyadari bahwa tubuh itu fana. Namun di sisi lain keterangan teologis memberi arti kekal bagi tubuh. Aku terhibur dengan afirmasi itu. Tubuhku adalah tubuh tertebus. Namun ketika aku berkaca di hadapan pandemi ini, aku melihat tubuhku hanya angin lalu. Tubuhku rapuh dan akan tiada.
Aku dan Tubuhku yang Rapuh
Tubuhku adalah signifikansi eksistensiku. Makna adanya aku adalah makna tentang tubuhku yang menjiwa dan jiwa yang menubuh. Pandemi Covid-19 menyingkapkan makna hidupku bahwa tubuhku begitu rapuh.
Aku dapat menderita, sakit, dan mati. Itu aku alami lewat tubuhku secara fisiologis dan psikologis. Tubuhku adalah jembatan referensial dari imanensi dan transendensi. Tubuhku tidak hanya sekadar ada di bumi tetapi tertuju pada suatu kesadaran lebih tinggi yaitu keterbukaan diri di hadapan kuasa alam yang tak terhingga dan kekuatan ilahi yang menjelma di dalam keajaiban-keajaiban hidup.
Transendensi tubuh di hadapan alam ialah kesanggupan menangkap dan menerima makna pemberian alam untuk hidupnya. Apa yang diberikan alam pertama-tama ditangkap secara indrawi, sensibilitas fisiologis, yang kemudian dipikirkan dan dipertimbangkan oleh akal budi.
Virus korona yang menyerang paru-paru lalu menyebabkan kematian, pertama-tama sama sekali tidak datang dari pribadi, tetapi dari luar, yaitu dari apa yang diberikan alam. Manusia menerima virus dari alam oleh karena suatu keseimbangan yang terganggu dan daya tahan tubuh manusia melemah karena virus secara perlahan tapi pasti menghentikan aktivitas pernapasan.
Manusia dalam dimensi fisiologisnya merupakan ciptaan yang retan (vulnerable creation) terhadap penyakit. Tubuh tak pernah terhindarkan dari setiap stimulus sebab adanya sebagai a medium of co-existence atau a knot of contact and reason tetap terbuka bagi yang lain dan itu berarti terus-menerus menerima apa yang datang dari luar diri. Selain menerima ia juga terarah kepada realitas yang lebih sublim yaitu transedensi Tuhan. Tubuh sanggup menciptakan simbol komunikasi spiritual.
Secara kodrati tubuh bernilai luhur karena diciptakan oleh Tuhan dengan sungguh amat baik. Tubuh dan pribadi manusia merupakan gambar dan citra Allah sendiri. Karena itu tubuh memiliki keluhuran dan kemulian. Tubuh berarti transendensi yang sanggup menjembatani antara yang insani dan yang ilahi. Hal ini sudah dideterminasi sejak awal mula. Jean Mouroux dalam bukunya The Meaning Of Man menulis, “Man is a creature destined to live in two worlds – to live by the realities of this world and to live with divine realities” (hlm.15).
Situasi pandemi Covid-19 memberikan pengertian yang tegas tentang tubuh bahwa tubuh itu rapuh. Tubuh terhubung secara langsung dengan alam. Alam yang sakit akan memberikan penyakit bagi tubuh. Tubuh adalah reseptor utama manusia. Maurice Merleau-Ponty menyebut tubuh sebagai subjek persepsi (tubuh-subjek). Karena itu ia perlu dijaga dan dirawat secara bertanggung jawab untuk mengafirmasi usaha subjektivasi.
Apakah aku sudah bertanggung jawab terhadap tubuhku yang rapuh ini? Kadang aku tidak menerima tubuhku yang aku baca di hadapan cermin faktisitas. Aku tak menerima tubuhku yang wajahnya penuh luka. Pesimisme, fatalisme, dan kemurungan sorang Cahiril Anwar menghantauiku.
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tidak terucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Atau:
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal…!!
Selamat tinggal…!
Aku berkaca: tubuhku hanya angin lalu. Namun puisi dan filsafat sebagai alat bidik makna menenteramkan dunia batinku bahwa angin lalu itu merupakan dinamika teleologis yang menunjukkan bahwa hidup punya tujuan ultim dan kerinduam puitis-metafisis tetap tak terpenuhi sebab hanya angin lalu. Dengan ini pencarian filosofis di jalan sunyi ziarah puisi tetap menjadi ziarah intelektual yang tidak pernah tiba sampai di titik final. Aku hanya seorang pencari makna. Aku terus mencari!
- Stadion Kanjuruhan, Colesseum-nya Indonesia - 10 Oktober 2022
- Ulang Tahun Seorang Perempuan - 4 Oktober 2022
- Kesetaraan Keakraban - 2 Oktober 2022