Alarm Merah Kebebasan Berekspresi

Dwi Septiana Alhinduan

Di tengah keramaian kehidupan berbangsa dan bernegara, kebebasan berekspresi menjadi salah satu pilar utama demokrasi yang harus dijaga. Namun, belakangan ini, terdapat kekhawatiran yang mendalam terkait dengan kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia. Suara kritis terus ditekan, dan berbagai bentuk ekspresi yang seharusnya menjadi hak setiap individu justru kerap kali terancam. Fenomena ini patut diwaspadai sebagai “Alarm Merah Kebebasan Berekspresi”.

Ketika membahas kebebasan berekspresi, kita tidak dapat melewatkan latar belakang sejarah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Dalam setiap lembaran sejarah, terukir rentetan peristiwa yang mencerminkan bagaimana suara-suara yang berbeda sering kali dibungkam. Mulai dari rezim Orde Baru hingga saat ini, kondisi ini tampaknya belum sepenuhnya teratasi. pengawasan yang ketat terhadap media dan individu yang bersuara kritis merupakan indikator jelas bahwa kebebasan berekspresi masih diujung tanduk.

Salah satu aspek yang menjadi sorotan utama dalam rangkaian pelanggaran ini adalah penggunaan media sosial. Di era digital, platform-platform ini telah menjadi arena baru bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat. Namun, justru di sinilah tantangan datang. Ancaman seperti pencemaran nama baik, penangkapan atas tuduhan provokasi, serta sanksi hukum lainnya menjadikan individu enggan untuk mengekspresikan pemikiran mereka secara terbuka. Dalam konteks ini, kebebasan berekspresi tak ubahnya seperti ilusi yang tergenggam di telapak tangan, tetapi sering kali terlepas akibat ketakutan akan konsekuensi.

Fenomena ini dipersulit oleh sikap ambivalen pemerintah terhadap kebebasan berekspresi. Walaupun secara teoritis kebebasan ini dijamin oleh konstitusi, implementasinya sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dijunjung. Regulasi yang berlebihan, seperti UU ITE, kerap kali dijadikan alat untuk mengekang suara-suara kritis. Ini menjadi paradoks yang mencolok, di mana legislasi yang seharusnya melindungi justru berfungsi untuk membungkam. Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa kondisi ini terus berulang? Apa yang mendorong bangsa ini untuk melakukan tindakan represif terhadap kebebasan berekspresi?

Menggali lebih dalam, kita menemukan bahwa ketidakpastian politik dan sosial menjadi faktor penting dalam berjalannya mekanisme pengekangan ini. Banyak pihak yang merasa terancam dengan kehadiran suara-suara alternatif yang mengusung perubahan. Ketidaknyamanan ini, dalam banyak kasus, berakar dari ketakutan akan kehilangan kuasa atau pengaruh. Hal ini menciptakan siklus di mana kebebasan berekspresi dianggap sebagai ancaman, dan pengekangan menjadi solusi yang diambil alih oleh mereka yang berkuasa.

Selanjutnya, kita tidak dapat mengabaikan peran budaya dan nilai-nilai masyarakat. Di banyak kesempatan, ekspresi yang dianggap “berbeda” sering kali dipandang negatif. Stigma ini menciptakan suasana di mana individu lebih memilih untuk diam ketimbang menghadapi stigma sosial. Kebudayaan kita, yang sering kali menjunjung norma-norma kolektivisme, terkadang bertentangan dengan prinsip-prinsip individualisme yang melekat pada kebebasan berekspresi. Hasilnya, suara-suara yang berusaha menginovasi atau merubah status quo terdesak untuk meredup.

Dalam bahasan ini, penting untuk mengenal berbagai cara untuk memperkuat kebebasan berekspresi. Salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan adalah penegakan hukum yang adil terhadap siapa saja yang melanggar kebebasan tersebut. Penegakan hukum yang obyektif dan transparan dapat mendorong masyarakat untuk lebih aktif bersuara tanpa rasa takut. Selain itu, edukasi mengenai pentingnya kebebasan berekspresi juga harus disebarluaskan, tidak hanya di kalangan akademik, tetapi juga di komunitas, hingga ke level basis.

Menjalin kerja sama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan media juga merupakan langkah strategis. Dalam ekosistem yang sehat, setiap pihak memiliki perannya masing-masing. Media, sebagai jembatan, berfungsi menyalurkan aspirasi masyarakat, sementara pemerintah diharapkan mampu mendengarkan dan merespons dengan bijak. Ketika ketiga elemen ini bergerak dalam satu irama, maka kebebasan berekspresi dapat terwujud dengan baik.

Namun, segala upaya ini tidak akan efektif tanpa adanya keberanian dari individu untuk bersuara. Setiap suara, sekecil apapun, memiliki potensi untuk membentuk perubahan. Dan disinilah letak kekuatan dari kebebasan berekspresi: setiap individu memiliki hak untuk berbicara, berpendapat, dan menciptakan dampak yang lebih besar pada masyarakat. Ketika suara-suara ini jamaah dalam kesatuan, kebebasan berekspresi bukan lagi sekadar harapan, tetapi juga realitas.

Dari sinilah, penting bagi kita untuk terus mengawasi setiap pelanggaran yang terjadi dan mendorong dialog terbuka di antara berbagai stakeholders bicara tentang kebebasan berekspresi. Alarm merah ini bukan sekadar sinyal bahaya, tetapi sebuah panggilan untuk menggelorakan kembali semangat kebebasan yang seharusnya tidak pernah padam. Mari kita bersama-sama menjaga suara kita, karena dalam kebebasan berekspresi, terdapat kekuatan untuk menyuarakan perubahan yang hakiki.

Related Post

Leave a Comment