Amangkurat II; Wahyu Keprabon dari VOC dan Negara Kertasura Adiningrat

Amangkurat II; Wahyu Keprabon dari VOC dan Negara Kertasura Adiningrat
©Tirto

Raden Mas Rahmat atau yang sering kita kenal sebagai Susuhunan Amangkurat II (1677-1703 M) adalah Raja Mataram yang kelima. Ia cucu dari Sultan Agung dan anak dari Amangkurat I atau Raden Mas Sayyidin.

Sebagai seorang Raja Mataram sama seperti tetuanya, Amangkurat juga memiliki lebih dari satu istri. Tetapi, dari sekian istrinya, hanya ada satu istri yang memberikan keturunan. Keturunannya itu kelak yang akan menggantikan posisinya di Kerajaan Mataram dengan gelar Susuhunan Amangkurat III (H.J. de Graff, 1989:76).

Tampaknya kutukan yang sang ayah lontarkan maqbul. Seperti yang kita ketahui bahwa sebelum meninggalnya, Susuhunan Amangkurat I mengutuk anaknya yang inti dari kutukan itu yakni Susuhunan Amangkurat II tidak akan memiliki keturunan yang nanti akan menjadi raja kecuali hanya satu dan itu waktunya tidak lama.

Kutukannya ini sebagai akibat karena perselisihannya dengan sang ayah, baik itu mengenai politik, mengenai ekonomi, dan bahkan mengenai asmara. Kutukan itu benar terjadi setelah Susuhunan Amangkurat III naik takhta, tidak berselang lama Pangeran Puger dengan gelar Pakubuwono I menggantikannya.

Secara biologis, tidak mungkin seorang raja hanya memiliki satu keturunan saja tanpa sebab yang lain. Konon, dalam Babad Tanah Jawi, istri pertama raja mengguna-guna semua istri dan selirnya sehingga mereka tidak bisa hamil dan yang bisa menghasilkan keturunan hanya istri pertama saja. Entah benar ataukah hanya isu belaka, faktanya semua istri Susuhunan Amangkurat II mandul kecuali istri yang pertama.

Susuhunan Amangkurat II pernah mendapatkan pendidikan di Surabaya sampai ia menginjak usia dewasa. Setiba waktu pengangkatan dirinya sebagai Adipati Anom, maka Raden Mas Rahmat pun kembali ke Plered.

Di istana itu, Amangkurat II, sebelum terangkat sebagai raja, berselisih dengan adiknya yang bergelar Pangeran Singasari. Bahkan ada berita bahwa gelar Adipati Anom akan beralih kepada Pangeran Singasari. Hal itulah yang membuat Mas Rahmat memberontak kepada ayahnya sebagai Raja Amangkurat I.

Pemberontakannya ini yang nanti akan berbuntut panjang. Sehingga Mataram mengalami prahara yang berkepanjangan disusul dengan VOC yang ikut andil dalam mengatur sistem pemerintahan kerajaan Mataram. Sehingga dengan prahara itu, kerajaan berpindah dari Plered ke desa Wonokerto di sebelah Barat Surakarta yang sekarang.

Ibu kota yang baru itu bernama Kartasura dan rajanya Susuhan Amangkurat II memimpin dari 1680 sampai 1703 M. Setelah kematiannya, terjadi perebutan kekuasaan di Mataram (Kartasura) antara Susuhunan Amangkurat III (Amangkurat Mas) dengan pamannya yang bergelar Pangeran Puger. Maka Amangkurat Mas hanya mampu berkuasa dalam waktu yang cukup singkat dan kemudian Pangeran Puger menggantikannya.

Wahyu Keprabon dari VOC

Ketika Mataram berada di bawah pimpinan Susuhunan Amangkurat I, Mataram mengalami prahara yang berkepanjangan. Praha itu sebagai akibat dari Amangkurat sendiri yang berkuasa secara kejam dan otoriter, baik di lingkungan istana ataupun di luar istana. Ia tidak memedulikan kesejahteraan rakayatnya. Akibat perbuatan Amangkurat I sendiri, maka muncullah pemberontakan-pemberontakan yang berskala kecil ataupun berskala besar.

Baca juga:

Namun, penyebab utama dari pemberontakan itu semua tidak lain dan tidak bukan terjadi atas pencopotan gelar Putra Mahkota oleh Amangkurat I kepada anaknya Amangkurat II yang sudah menjadi Adipati Anom. Sehingga Amangkurat II bersekutu dengan Trunojoyo untuk memberontak raja. Pemberontakan itu orang kenal dengan sebutan “Pemberontakan Trunojoyo”.

Adipati Anom kemudian membuat perjanjian dengan Trunojoyo. Ketika Trunojoyo berhasil menyingkirkan ayahnya (Amangkurat I) dari takhta Mataram, Adipati Anom akan menjadi Raja Mataram dan Trunojoyo akan mendapatkan tanah Madura dan sebagian Jawa Timur.

Dengan perjanjian itu, maka Trunojoyo menyetujuinya. Trunojoyo kemudian membentuk laskar dan mencari dukungan dari para ulama di Giri Kedaton yang tidak suka dengan Amangkurat I karena tindakan pembunuhan kepada para ulama secara massal (Soedjipto Abimayu, 2015).

Dengan gaya kepemimpinan Trunojoyo dan dukungan dari para ulama serta gabungan orang-orang Madura, Makassar, dan Surabaya, pasukan Trunojoyo berhasil mendesak pasukan Amangkurat I. Trunojoyo sedikit demi sedikit mulai menguasai wilayah Mataram dan beberapa daerah Mataram mulai terebut.

Di luar dugaan, pada 2 Juli 1677 M, Trunojoyo beserta pasukannya berhasil menyerang jantung ibu kota Mataram di Plered. Sehingga Trunojoyo berhasil merebut dan menduduki kota Mataram yang mengakibatkan Susuhunan Amangkurat I menyingkir dari kerajaan dan pergi ke Batavia meminta bantuan kepada VOC.

Setelah berhasil menyingkirkan Amangkurat I dan menduduki Istana Mataram, tampaknya antara Trunojoyo dengan Adipati Anom terdapat perselisihan. Hal ini mengakibatkan Trunojoyo urung menyerahkan takhta Mataram kepada Adipati Anom. Bahkan, Trunojoyo menjarah ibu kota Mataram tersebut.

Karena merasa dirinya terkhianati, Adipati Anom justru menyerang balik Trunojoyo bergabung dengan ayahnya di pelarian.

Babad Tanah Jawi menyebutkan pelarian pihak kerajaan ke Barat dengan diikuti oleh Adipati Anom serta kejatuhan Istana Mataram menandakan berakhirnya Kerajaan Mataram Islam. Trunojoyo kemudian memboyong banyak sekali harta rampasan perang dan membawanya ke pusat kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur.

Halaman selanjutnya >>>

Raha Bistara