
Andai semua hari adalah hari fitri,
Di mana lingkunganku semua beramah tamah,
Menyambut tamu dengan segala kebaikan.
Pula berlomba lomba,
Dengan sambangan ke liang lahat,
Mengingat mati atau sekadar kunjungan nenek moyang.
Segala ruang depan terpenuhi,
Oleh kue yang dibuat,
Demi kenyamanan tamu yang datang,
Andai semua hari adalah hari yang fitri,
Bermaaf-maafan sesama tetangga,
Serta sesama umat beragama.
Di mana kata rahim dijunjung terbang,
Toleran dikembangkan sesama kalangan,
Tak tampak kekecewaan pada setiap detiknya,
Pun sedekah sesama dengan lipatan angpao di sana.
Kurindukan hari fitri itu,
Andai semua hari itu adalah hari fitri.
Harapanku Padamu, Dik
Dik,
Dulu ‘ku pernah berharap,
Kau adalah si Diah Pitaloka.
Ternyata salah besar kutemukan,
Di balik hari-hari kemudian.
Entah memang jauhnya langit,
Atau karena tak berdayanyaku membeli sayap.
Dik,
Kau tetaplah si Santa Maria
Maria yang tak terima tuk didampingi,
Seperti hakikat dari maria itu sendiri.
Benar katamu, bung,
Senja akan tetap menjadi senja.
Meski waktunya tak berubah,
Keberadaannya hanyalah bias,
Tak kekal dan hanya sedetik kala.
Dik, tapi biarlah surat ini kutuliskan,
Mungkin pembaca wasiat itu tahu,
Bahwa bila ‘ku mati.
Kau harus datang lalu menciumku.
Meski tak sempat kuraih keningmu.
Waktu yang Salah
Demi waktu…
Kau selalu memisahkan dua insan,
Kala mereka sedang melambung terbang dengan cintanya.
Dengan waktu pula,
Semua seakan mati suri,
Sebab tak kuasa tertahan bagi mereka para perindu.
Dan waktu juga,
Mematahkan harapan,
Tentang keabadian bersama bagi mereka yang sudah sepasang.
Namun, tak berhak kuhakimi sebegitu rendah,
Sebab tak semua yang kureka,
Berbuah hasil kebenaran.
Mungkin skenario indah nan anggun,
Sedang tuhan persiapkan pada mereka yang gagal karenanya.
Karena semua kebenaran hanyalah miliknya,
Dan insan hanyalah pembenaran terhadap nafsunya.
Sayang…
Kita masih di bawah langit yang sama
Dengan doa di malam yang sama
Walau tak di kota yang sama
Pastikan semua seirama.
Baladi
La Uqsimu Bihadzal Balad
Aku bersumpah demi negeri yang besar ini,
Dengan apa yang menimpanya hari ini
Tak ingatkah kau dulu bahwa kau begitu gagah nan perkasa mengusir pengusikmu
Dan dengan persatuan pula lenyapkan musuh-musuhmu
Bahkan kau pun berjanji lebih baik mati berkalang tanah,
Daripada hidup bercermin bangkai.
Oh Negeriku…
Begitu besar jiwamu wahai Indonesiku
Namun, mengapa kau kini begitu lemah?
Apakah ini negerimu, Bung Karno?
Dan apakah ini pula negerimu, Bung Tomo?
Lantas, ke manakah sosokmu kautularkan, bung?
Sehingga tak satu pun anak negeri ini,
Mampu berperan sepertimu
Akankah hanya dengan virus ini negerimu akan mati, bung?
- Andai Semua Hari Adalah Hari Fitri - 13 Mei 2021
- Jangan Katakan Selamat Ulang Tahun - 2 Mei 2021
- Cinta: Kekuatan Kedua Setelah Tuhan - 17 April 2021