
Teror berlatar agama di Indonesia ditengarai ada hubungannya dengan status Indonesia sebagai pemilik jumlah umat muslim terbesar di dunia.
Agama sebagai salah satu bentuk pranata sosial dalam ihwal kemasyarakatan tidak pernah bisa lepas dari berbagai aliran yang ada. Sekaligus menegaskan keberadaan aliran tersebut adalah sebuah keniscayaan, terutama bagi agama Samawi.
Ada beberapa penyebab, salah satunya karena agama Samawi menitikberatkan pada tafsir terhadap pesan (wahyu) dari langit yang nabi terima. Namun begitu, bukan tidak ada juga aliran dari penganut agama Ardhi. Intinya, agama meniscayakan munculnya berbagai bentuk aliran.
Namun, bagaimana jika berbagai aliran yang tercipta membawa dampak buruk bagi aliran yang lain? Entah itu sesama aliran dalam satu rumpun agama Samawi ataupun dalam rumpun agama Ardhi. Di sinilah cikal bakal konflik kemanusiaan.
Jika kita bersepakat, tidak ada agama satu pun di kolong langit ini yang membawa pesan kekerasan, seharusnya muskil tragedi kemanusiaan berlatar agama terjadi. Tetapi, apa lacur, sepanjang sejarah manusia jadi menghuni kolong langit, tragedi kemanusiaan berlatar agama masih sering terjadi. Bahkan, dalam dokumen Pattern of Global Terrorism 2000, tertulis 9.181 serangan teror telah menyibukkan dunia.
Angka ini tentu membuat kita terhenyak. Selain karena teror tersebut sebagian besar berlatar agama yang konon membawa pesan kebaikan untuk manusia, sekaligus membenarkan frasa “Homo Homini Lupus” yang Plautus cetuskan seribu tahun silam.
Pertanyaannya, apakah kejadian demi kejadian teror berlatar agama ini karena konsep beragama kita atau karena kita (manusia) adalah serigala bagi manusia yang lain?
Sebelum menjawab pertanyaan tadi, mari kita perhatikan dengan saksama kondisi hari ini, terutama untuk konteks Indonesia.
Sejak para pendiri bangsa ini bersepakat untuk membidani sebuah negara, hingga saat ini, teror demi teror juga jadi bagian dalam lintasan sejarah Indonesia. Mulai dari percobaan pembunuhan Presiden Soekarno di tahun 1957 hingga bom Surabaya 2018 kemarin. Tentu saja kejadian teror tersebut tidak semuanya berlatar agama, namun tidak sedikit juga berlatar agama.
Baca juga:
Jika kita selisik lebih jauh, teror berlatar agama di Indonesia ditengarai ada hubungannya dengan status Indonesia sebagai pemilik jumlah umat muslim terbesar di dunia. Setidaknya demikian buku “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia” berkata.
Dalam prolognya, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif menulis, meski jumlah penduduk muslim di Indonesia mencapai angka 88,22 persen (sensus tahun 2000), upaya NU dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam dalam membentuk wajah Islam yang damai senantiasa menemui jalan terjal. Salah satu bentuknya, godaan untuk menampilkan wajah Islam tidak ramah.
Akarnya, menurut beliau, ialah tren gejala fundamentalisme agama. Tren ini pun tidak hanya menerjang Indonesia sebagai negara muslim terbesar di Dunia. Bahkan Amerika sebagai sebuah negara adikuasa ketika di bawah pemerintahan George W. Bush juga terkena. Bedanya, di sana aliran fundamentalis Kristen menjadi pendukung utama rezim neo-imprealisme.
Masih dalam buku yang sama, dalam prolognya, Syafii Maarif mengungkap ada tiga teori yang membahas fundamentalisme yang muncul di dunia Islam dewasa ini. Pertama, karena umat Islam gagal dalam menghadapi modernitas.
Teori pertama ini yang paling sering para analisis fundamentalis gunakan dalam mendedah fenomena beragama. Menurut beliau, ketidakberdayaan kaum fundamentalis Islam dalam menjawab segala tantangan gelombang modernitas yang menjadi penyebab.
Bagi analis pengguna teori pertama ini, jika sebatas mencari dalil penghibur diri (saja), mustahil akhirnya akan tercipta sejumlah teror dengan berbagai variannya. Namun masalah akan mulai muncul ketika para fundamentalis dalam lingkup teori pertama ini kemudian mulai jenuh dengan ketidakberdayaan dan mulai menghalalkan segala cara.
Misalnya, dengan menyusun kekuatan politik. Bagi para penentang aliran fundamentalis, perspektif teori pertama ini bukan saja sesama umat Islam, namun juga umat lain.
Untuk umat Islam penentang aliran ini tentunya bukan karena mereka sudah terlena atau bahkan tergilas dengan modernitas yang bagi golongan fundamentalis adalah momok. Tidak lebih karena pilihan metode yang berbeda. Karena memilih metode menampilkan wajah Islam yang ramah sudah terbukti lebih efektif dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia.
Halaman selanjutnya >>>
- Antara Agama, Teror, dan Politik - 9 Juni 2018