Anti-Penghilangan Paksa, KontraS Desak Pemerintah Ratifikasi Konvensi Internasional

Anti-Penghilangan Paksa, KontraS Desak Pemerintah Ratifikasi Konvensi Internasional
Foto: Detikcom

Ratifikasi Konvensi merupakan keniscayaan. Ia sebagai mekanisme preventif juga sarana reparatif bagi para korban dan keluarga korban penghilangan paksa.

Ulasan PersKomisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD), dan perwakilan keluarga korban penghilangan paksa 1997/1998, 30 Agustus 2018, bersolidaritas dengan seluruh negara-negara di dunia. Kami memperingati hari anti-penghilangan paksa sedunia.

Sebagai sebuah tindakan kejahatan yang terklasifikasi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), menyitir pendapat dari Geoffrey Robertson, seorang pengacara HAM, kejahatan penghilangan paksa merupakan kejahatan yang terberat dari seluruh jenis kejahatan.

Penghilangan paksa terdapat di setiap negara yang menerapkan politik otoritarianisme, despotisme, dan militerisme. Ini sebagai sebuah keniscayaan dalam menjaga stabilitas keamanan suatu negara dengan cara melakukan penangkapan, penculikan, penahanan, dan lain-lain.

Indonesia, sebagai sebuah negara yang juga pernah mengalami masa kelam otorianianisme di bawah pimpinan Soeharto, juga menerapkan praktik serupa untuk menjaga hegemoni kekuasaannya. Kami mencatat praktik ini diterapkan pada kasus-kasus:

  1. Pembantaian 1965/1966 (37.774 korban);
  2. Penembakan misterius sepanjang tahun 1982-1985 (23 korban);
  3. Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 (14 korban);
  4. Peristiwa Talangsari tahun 1989 (30 korban), Darurat Operasi Militer (DOM) Aceh tahun 1989-1998, Pasca DOM Ace tahun 1999-2002, dan Darurat Militer Aceh tahun 2003 (total 577 korban);
  5. Penghilangan paksa Aristoteles Masoka di Papua; dan
  6. Penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi tahun 1997/1998 (23 korban, 9 di antaranya dilepaskan, 1 orang ditemukan meninggal, dan 13 lainnya masih belum kembali).

Rentetan kasus penghilangan paksa di atas dan juga jumlah korban yang masif menunjukkan bahwa kejahatan penghilangan paksa menggoreskan luka yang sangat dalam pada sejarah bangsa Indonesia.

Rekomendasi politik DPR yang dikeluarkan pada tahun 2009 secara lebih sahih telah memberikan langkah-langkah yang harus ditempuh pemerintah dalam menuntaskan kasus penghilangan paksa 1997/1998. Salah satu poin dari rekomendasi tersebut adalah Indonesia harus segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Paksa (selanjutnya disebut Konvensi).

Ratifikasi Konvensi merupakan sebuah keniscayaan sebagai acuan legal bagi perlindungan terhadap kejahatan penghilangan paksa di Indonesia. Selain sebagai mekanisme preventif, Konvensi juga memberikan sarana reparatif bagi para kroban dan keluarga korban penghilangan paksa.

Hal ini penting untuk mengembalikan hak-hak para korban dan keluarga korban yang terus menanggung ketidakpastian. Karena ini menyebabkan trauma akibat hilangnya ayah, ibu, saudara, dan kerabat mereka.

Rencana ratifikasi Konvensi sudah kerap kali didengungkan oleh pemerintah. Namun kami menilai bahwa pemerintah harus merealisasikan hal tersebut secara konkret. Alih-alih hanya dipakai sebagai sebuah pemanis bibir belaka dan komoditas politik setiap menjelang kontestasi politik.

Kami mendesak kepada Presiden Jokowi untuk segera mengubah ukuran keberhasilan dalam dokumen RANHAM. Itu terkait ratifikasi Konvensi agar secara konkret melakukan ratifikasi tahun ini. Dan, membentuk tim pencarian orang hilang guna menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Juga kepada Kementerian Luar Negeri sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan dalam mengawal proses ratifikasi Konvensi sebagaimana dimaktubkan dalam dokumen RANHAM. Bahwa untuk terus mengupayakan ratifikasi Konvensi dan memberikan rekomendasi kepada parlemen untuk membahas ratifikasi Konvensi.

Berikut ini lini masa praktik penghilangan paksa di Indonesia:

*Sumber: @KontraS