
Kenapa sering kali pembelajaran matematika terkesan boring dan tidak menyenangkan? Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya apersepsi.
Seorang guru yang mengatakan bahwa teori pendidikan hanya sekadar teori pasti tidak akan memahami pentingnya istilah ini. Sudah banyak penelitian yang menekankan pentingnya apersepsi. Emang apaan sih itu?
Saya akan analogikan begini. Anda sedang asyik di pinggir lapangan melihat kambing sedang makan rumput. Tiba-tiba di tengah keasyikan itu, salah satu teman Anda datang dan bercerita tentang banyak hal. Apa yang Anda rasakan?
Jika otak Anda berada pada keadaan focus mode, meskipun itu hanya sekadar asyik mengamati kambing makan rumput, maka niscaya cerita teman Anda hanya masuk telinga kiri lalu terpental keluar lagi. Kalau toh Anda menanggapi teman Anda, pasti cuma dengan “oh ya”, “begitu ya”. Sekadar jawaban singkat untuk ngeles.
Pada pembelajaran pun tak ubahnya seperti itu. Banyangkan ketika di sekolah siswa harus gonta-ganti belajarnya. Di jam pertama mereka belajar IPS lalu di jam berikutnya belajar matematika.
Apa jadinya ketika siswa masih berada pada fokus mode di pelajaran IPS, lalu guru matematika datang tiba-tiba menjelaskan definisi integral? Yang jelas, siswa akan gedandapan dan tak tahu apa yang dibicarakan guru matematika.
Dengan apersepsi, seorang guru dapat mengalihkan focus mode siswa untuk sejenak menjadi diffuse mode. Gampangnya, di mode ini, siswa melepas penatnya dan mengalihkan perhatian kepada hal baru di sekitarnya, termasuk kehadiran guru matematika yang baru datang. Nah, pada diffuse mode ini, kita bisa melakukan apersepsi untuk sedikit mereleksasikan penat siswa.
Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan ketika apersepsi. Misalnya, melakukan permainan kecil-kecilan, motivasi, nyanyi atau hal lain yang bikin rileks.
Nah, salah satu bentuk apersepsi yang baik dalam pembelajaran matematika adalah mengantarkan anak-anak menuju materi yang akan dipelajarinya. Bisa dengan kegiatan percobaan, bisa dengan cerita sejarah materi itu ada, dan lain sebagainya. Sayangnya, ini yang sering kali kita lupakan.
Kita sering tiba-tiba datang dan masuk kelas lalu mengajarkan konsep aljabar, limit, statistika tanpa ada pengantar apa pun sebelumnya. Ini ibarat Anda meminta seseorang untuk meminum obat yang dia tak tahu apa fungsinya. Percayalah, tidak ada ilmu matematika yang tiba-tiba muncul tanpa ada latar belakangnya.
Kemarin malam saya mengajar limit untuk pertama kalinya kepada siswa privat saya. Saya tak mungkin mengawalinya dengan memberi tahu definisi limit secara formal sebagaimana saya belajar analisis real.
Bersyukur di bukunya saya temukan sedikit bacaan tentang paradoks zeno. Paradoks ini pertama kali saya baca ketika saya kuliah S1 sekitar 10 tahun yang lalu di buku Zero karangan Charles Seife. Masalah paradoks zeno ini bisa kita gunakan sebagai pengantar bagi siswa untuk memasuki konsep limit. Saya tidak akan jelaskan detailnya pada tulisan ini.
Kita bisa selalu menemukan pengantar yang tepat untuk membersamai siswa mengenal konsep baru dalam matematika. Di beberapa buku saat ini sudah sering muncul pendahuluan semacam ini.
Meskipun dalam beberapa kasus sering kali tidak dijelaskan dengan detail sebagaimana paradoks zeno pada buku ini. Itulah sebabnya penting bagi guru matematika untuk memiliki pengetahuan tambahan tentang konsep yang akan mereka ajarkan.
Saya akan beri beberapa contoh tambahan. Misal, saat hendak mengajar bangun datar, kita bisa menceritakan sejarah bangsa Mesir yang menemukan konsep pengukuran tanah sebagai tanggapan dari bencana banjir sungai nil. Saat mengajar eksponensial, kita bisa melakukan percobaan melipat kertas menuju matahari.
Ketika mengajar kesebangunan, kita bisa menceritakan bagaimana Thales menentukan jarak kapal di seberang lautan. Ketika kita mengajarkan aljabar, kita bisa menceritakan dari mana kata itu berasal dan sosok penting Al Khawarizmi sebagai pengarangnya.
Baca juga:
Kegiatan apersepsi itu, selain dapat sedikit mengalihkan pikiran siswa dari focus ke diffuse mode, dapat menarik perhatian siswa. Sehingga mereka merasa bahwa matematika itu muncul sebagai pemecahan masalah dalam kehidupan mereka. Bukan sebagai ilmu yang gunanya dipelajari untuk menyelesaikan serangkaian tes semata.
Banyak teori pendidikan yang jika kita paham betul kita bisa manfaatkan selama mengajar. Sayangnya, bagi beberapa guru pengejar piala, téori pendidikan itu cuma sekadar teori yang penuh bacaan.
Lah kalau gurunya ngajar hanya agar siswanya juara, ya jangan salahkan siswanya kalau mereka cuma mengejar nilai semata. Benar-benar ciri khas negeri wakanda.
- Semua Anak Suka Belajar, tapi Benci Dipaksa Belajar - 31 Agustus 2022
- Membaca Adalah Kemewahan - 29 Agustus 2022
- Nilai Matematika Tidak Penting - 26 Agustus 2022