
Nalar Warga – Tentang apakah harga rokok perlu dinaikkan atau tidak, saya kira juga harus dilihat dari perspektif etika. Ada dua hal di sini yang penting diperhatikan: tindakan merokok dan rokok sebagai barang yang memungkinkan orang melakukan tindakan merokok.
Pertama, “merokok”, sama seperti tindakan “membaca buku”, “menonton film”, “menulis status FB”, “berkendara”, “meminum bir”, “bersenggama”, dan sebagainya adalah tindakan yang lahir dari keputusan bebas individu. Sebagai pemilik dirinya sendiri, individu bebas melakukan/tidak melakukan apa pun tindakan yang menurutnya bagus/jelek bagi dirinya sendiri.
Seseorang tidak boleh dipaksa untuk tidak merokok, juga dipaksa untuk merokok. Apakah orang yang memilih tidak merokok, namun ikut secara tidak sengaja mengisap asap rokok dari perokok, dapat dikatakan “dipaksa merokok”?
Let’s see. Bukankah kalau analogi ini diterima berarti kita semua setiap hari “dipaksa” menerima dampak dari tindakan bebas pihak lain, termasuk hal-hal yang mungkin tidak kita sukai? Saya akan bahas ini di bawah.
Kedua, “merokok” membutuhkan obyek benda yang disebut “rokok”. Seseorang bebas merokok jika rokok itu adalah barang yang ia peroleh secara sah tanpa melanggar kepemilikan orang lain.
Misalnya, rokok itu dibuat dari tanaman tembakau yang ia olah dan linting sendiri; atau ia membeli rokok itu dengan uangnya sendiri dari pihak lain; atau ia menerima pemberian rokok dari orang lain. Sebagai pemilik sah atas rokok, seseorang bebas melakukan apa pun atas rokok miliknya.
Terserah mau dia buang, dia hisap sendiri, dijual, atau beri secara gratis pada orang lain. Ini juga berlaku pada barang-barang lain: organ tubuh, buku, tanah, bangunan, kendaraan, dan sebagainya, sejauh semuanya diperoleh secara sah tanpa melanggar kepemilikan pihak lain. Dasarnya adalah prinsip property ownership.
Non-perokok akan menyanggah bahwa kepemilikan diri perokok atas dirinya dan rokok miliknya tidak lantas membuat dia bebas semaunya melakukan tindakan merokok. Apalagi jika tindakan merokok itu mengganggu orang-orang yang tidak merokok.
Baca juga:
- Atas Nama Kebebasan, Perempuan Arab Mulai Merokok di Ruang Publik
- Kebijakan Menaikkan Cukai Rokok Harus Dikaji
Asap rokok, misalnya, yang melayang berseliweran dan terhirup oleh non-perokok adalah hal yang seharusnya tidak terjadi. Perokok harus memastikan bahwa asap rokok miliknya dihisap habis oleh dirinya sendiri.
Come on. Apakah argumen ini dapat diterima? Bukankah saya dapat mengatakan suara Anda yang cempreng seperti kaleng rombeng ketika berbicara mengganggu telinga saya?
Seorang teis juga mungkin tersinggung karena postingan dari seorang ateis yang secara subyektif dianggap menistakan agamanya; seorang non-Muslim (teis/ateis) di Indonesia “dipaksa” mendengar suara azan lima kali sehari; setiap kita “dipaksa” menghirup asap knalpot kendaraan bermotor setiap hari; kita semua “dipaksa” merasakan dampak perubahan iklim akibat industrialisasi.
Dengan mengemukakan perbandingan ini, saya tidak bermaksud mengatakan kita tidak bisa sama sekali bebas dari dampak yang tidak kita inginkan dari tindakan-tindakan bebas orang lain. Kenapa?
Karena kebebasan seseorang menemukan batasnya pada kebebasan pihak lain. Dan karena kebebasan melekat pada kepemilikan setiap orang atas dirinya sendiri, seluruh organ tubuh dan buah pikirannya, juga apa pun properti yang ia miliki secara sah dari hasil upayanya sendiri.
Sanggahan lain dari non-perokok: merokok menghilangkan hak saya atas udara yang bersih. Apakah demikian?
Bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan bahwa sesuatu, udara dalam hal ini, yang bukan merupakan bagian dari tubuh dan pikirannya, bukan pula merupakan sesuatu yang ia produksi sendiri, atau ia hasilkan dari upayanya sendiri, sebagai haknya? Apa dasarnya ia mengklaim udara yang bersih sebagai hak, sementara ia tidak memiliki udara tersebut melainkan hanya membutuhkannya?
Baca juga:
Apakah hak dapat didasarkan pada kebutuhan? Jika hak dapat didasarkan pada kebutuhan, bukankah ini juga berarti saya dapat mengklaim apa pun kebutuhan saya sebagai hak saya, sehingga orang-orang yang tidak memenuhi kebutuhan saya dapat saya katakan telah melanggar hak saya?
Bukankah, jika demikian, seorang perempuan yang menolak tawaran hubungan dari seorang lelaki jomblo yang butuh pendamping dapat dikatakan telah melanggar hak si lelaki jomblo untuk memiliki pendamping? Tentu tidak. Kenapa? Karena si perempuan memiliki dirinya sendiri dan bebas atas pilihan apa pun yang ia putuskan.
Lelaki jomblo tidak serta-merta berhak atas si perempuan semata-mata karena membutuhkannya. Ini sama sebagaimana seorang non-perokok tidak serta-merta memiliki udara yang bersih karena membutuhkannya.
Dari sini, kemudian, muncul persoalan etis ketiga, yakni ketika ternyata ada barang-barang yang kita gunakan begitu saja (dan secara tidak sadar kita anggap sebagai milik kita), namun secara etis tidak bisa kita klaim sebagai milik kita, hak kita.
Udara, air, bahkan mungkin tanah yang selama ini kita sertifikatkan—atas dasar apa kita mengklaim itu semua sebagai hak kita padahal barang-barang itu bukan bagian dari diri kita dan bukan pula hasil karya kita?
Alam menganugerahkan itu semua pada kita, untuk kita gunakan memenuhi kebutuhan kita. Tapi ingat, kita tidak pernah punya dasar untuk memilikinya. Tidak saya, tidak Anda, dan tidak siapa pun.
Apakah dengan merokok, mengeluarkan asap yang masuk ke udara, seorang perokok telah mengklaim kepemilikan atas udara? Saya kira tidak. Tiap hari, kita, sebagai individu atau masyarakat manusia, membuang segala rupa polusi ke udara, termasuk Anda yang non-perokok.
Kesadaran atas batas-batas hak dalam wilayah etis ini menuntut diselesaikannya perbedaan kepentingan antara perokok dan non-perokok melalui mekanisme konsensus yang persuasif, voluntary, dan interpersonal. Bukan melalui intervensi-intervensi kekuasaan yang mengganggu kepemilikan atas diri dan properti orang lain, misalnya, melalui larangan merokok dan regulasi harga rokok.
Artikel Terkait:
- Mungkinkah Agnes Dapat Dipidana? - 28 Februari 2023
- Transformer - 6 Februari 2023
- Jalan Panjang Demokrasi Kita - 2 Februari 2023