
Language carries cultures, cultures carries religions, and religion carries intersections. Dalam bahasa terkandung budaya, dalam budaya terkandung agama, dan dalam agama terkandung pertikaian.
Sikap psikologis manusia sebagai homo reciprocus (makhluk tanggap), secara sadar, akan berhadapan dengan kekuatan alam kosmis. Seperti: panas, dingin api, gelombang air, angin ribut, gempa bumi, ledakan gunung, hingga kiamat.
Pada bagian lainnya, manusia sebagai homo homini lupus (makhluk pemangsa sesama), secara sadar pula, akan berhadapan dengan peperangan, pemberontakan, pembunuhan, dan lainnya.
Naluri pertama yang akan menjadi tambatan semua beban bencana di atas adalah dirinya sendiri. Pada posisi ini, manusia akan melakukan tindak survival dengan menuhankan kekuatannya sendiri (homo deus).
Setelah tingkat beban meningkat, maka manusia akan menyerah pada titik kesulitan tertentu. Ini tidak dapat diatasi oleh kebesaran homo deus-nya. Pada titik ini, muncul usaha pencarian kekuatan super yang dapat mengatasi bencana.
Kekuatan super akan terus diilusikan manusia dalam bentuk paling sederhana. Yakni, dengan melakukan simbiosis pemujaan yang disebut dengan animisme. Dengan animisme, lahirlah ujaran-ujaran kata yang terangkai dalam sebuah doa pengharapan atau pujian-pujian yang terlantun dengan berbagai keindahan bahasa dan sastra.
Pada titik lantunan pujian dan doa, manusia eksis sebagai homo religious (makhluk beragama). Maka sejak itu, muncul dan berkembang dasar dan ajaran keselamatan (soteriologi).
Ajaran keselamatan dengan mengandalkan sisi homo religious-nya memberikan indikasi betapa bahasa sebagai alat pencapai sisi tersebut telah sukses menjadi alat ekspresi doktrin keagamaan. Perkembangannya akan membawanya pada tingkat penciptaan kereligiusan yang majemuk (multifaceted religiousness). Dengan begitu, ruh soteriologi banyak diadopsi oleh agama-agama di dunia.
Soteriologi (ajaran keselamatan) diterima oleh manusia sebagai homo religious (manusia beragama). Beranggapan bahwa rangkaian doa dan pujian dengan bahasa tertentu akan menyelamatkan manusia dari berbagai macam bencana. Yang tersusun indah dalam teks-teks soteriologis juga dianggap mampu memberikan kebebasan manusia dari ketakutan dan ancaman oleh kuasa-kuasa di dunia.
Kekuatan soteriologis bahasa pada rangkaian doa peribadatan, ataupun pujian-pujian, dikembangkan dengan dua jalan. Yaitu, jalan cinta kasih (agapeic path) dan jalan pengetahuan (gnostic way).
Dua cara itu sangat sesuai dengan pemikiran Herakleitos mengenai perubahan-perubahan di alam semesta. Dengan dukungan jalan cinta kasih dan jalan ilmu pengetahuan, bahasa berkembang untuk menciptakan ujaran-ujaran indah lainnya. Ini berkaitan dengan pemujaan untuk keperluan sisi soteriologisnya.
Sifat soteriologis pada perkembangan ujaran-ujaran bahasa pemujaan sejalan dengan pendapat Herakleitos tentang tidak adanya sesuatu yang betul-betul ada. Semuanya berada di dalam proses menjadi.
Proses yang berkesinambungan pada perkembangan bahasa sangat berkaitan dengan munculnya agama-agama baru dalam ruang-ruang soteriologis yang mahaluas. Maka dari itu, agama akan terus berkembang. Ia lahir bersama perkembangan ujaran-ujaran pemujaan soteriologis.
Ucapan Herakleitos lainnya sesuai dengan perkembangan agama-agama berbasis bahasa pemujaan beserta ujarannya. Yaitu, panta rhei kai uden menei yang berarti “semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap”.
Sebaliknya, agama, selain mewadahi ekspresi kebahasaan, ia juga turut memengaruhi dinamika kebahasaan. Baik dari segi bentuk (fonologi, leksikon, dan sintaksis), konten, maupun fungsi bahas. Sehingga kita mengenal istilah “bahasa laras keagamaan”.
Kesamaan bahasa memainkan peran penting dalam melanggengkan sebuah ikatan sosial (homo socius).
Karena memang dasar utama perkembangan agama berbasis bahasa, maka muncul pandangan yang menyatakan bahwa ia merupakan salah satu perekat atau kohesi sosial serta katalisator harmoni dan damai. Sebaliknya, keragamannya dan etnis dapat pula dipersatukan oleh kesamaan agama.
Yang lebih menarik, ketika agama menyematkan status tertentu pada sebuah bahasa dengan melabelinya sebagai yang resmi, istimewa, bahkan sakral dan transenden.
Di samping itu, isu-isu keagamaan bersifat sensitif, maka wacana religiositas atau status bahasa dalam perspektif keagamaan biasanya tidak saja hanya melibatkan logika dan rasionalitas. Namun, lebih jauh juga, melibatkan tensi emosi, spiritualitas, kepentingan, dan berbagai isu lain. Sehingga pula berdampak pada kenyataan untuk melahirkan beragam isu, perspektif, sikap, dan perilaku berbahasa.
Contoh, ketika Bahasa Urdu yang menjelma menjadi identitas Islam di Pakistan dan beberapa negara di wilayah Hindustan lainya. Seperti halnya Bahasa Melayu yang menjadi simbol identitas Islam di Asia Tenggara. Sedang yang lebih tajam lagi, ketika Bahasa Urdu dan Arab dapat membuat jurang pemisah antara pengikut Ahli Sunnah dengan Deobandi di Mauritania.
Di sisi lain, kesamaan bahasa juga menjadi unsur perekat (kohesif). Misal saja di India, meskipun kerap kali berkonflik, Bahasa Hindi telah menjadi salah satu jembatan penghubung. Ia jadi perekat para pemeluk Islam dan Hindu di sana.
Begitu pun di Indonesia, Bahasa Indonesia juga menjadi unsur perekat. Ia jadi jembatan perdamaian antarumat beragama.
Baca juga:
- Kreol dan Pijin; Arbitrer yang Terpinggirkan - 7 Oktober 2021
- Bergaduh di Balairung Raja - 6 Oktober 2021
- Intuisionisme Filantropis Pemaksimal Utilitas - 4 Oktober 2021