
Berkomentar terhadap volume pengeras suara dari masjid bukan tindak pidana. Maka itu, bebaskan Meiliana dari kriminalisasi. Hapus hukum dan penghukuman yang menodai rasa keadilan perempuan minoritas!
Ulasan Pers – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 21 Agustus 2018. Itu atas Perkara Ibu Meiliana yang divonis 1 tahun 6 bulan karena tuduhan melakukan penodaan agama. Dasarnya, mengomentari volume suara azan di Masjid Al-Maksum Tanjung Balai.
Hal itu kemudian disebarkan. Memicu kemarahan hingga berdampak kerusuhan massa. Merusak rumah terdakwa, perusakan dan atau pembakaran 12 vihara/klenteng serta 2 bangunan yayasan sosial di Kota Tanjung Balai Sumatra Utara yang terjadi pada tanggal 29 Juli 2016.
Komnas Perempuan memandang kasus hukum yang menimpa Ibu Meiliana bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Sejak tahun 2010-2017, Komnas Perempuan telah melakukan pemantauan secara intensif. Utamanya konflik bernuansa agama dan potensi konflik sosial di Tanjung Balai. Salah satunya karena ada laporan pada tahun 2010 tentang potensi ketegangan atas nama agama.
Temuan kunci Komnas Perempuan bahwa Tanjung Balai adalah masyarakat multikultur, baik dari ragam suku, etnis, maupun agama. Ketegangan antaragama dan etnik terjadi, karena tidak berjalannya dialog yang mendamaikan. Rasa curiga dan prejudice antaretnis diperkuat dengan kesenjangan sosial ekonomi antara komunitas Tionghoa yang dianggap kaya dan dihadap-hadapkan dengan etnis lain yang banyak menjadi buruh dan miskin.
Selain itu, rule of law yang tidak berjalan. Memicu impunitas bagi mereka yang punya kuasa ekonomi maupun politik. Hal lain adalah masyarakat yang frustrasi. Karena tinggal di wilayah perbatasan yang rentan jadi wilayah trafficking maupun peredaran zat adiktif.
Seluruh akumulasi masalah ini tidak berimbang dengan sikap tegas dan tindakan intensif penyelenggara negara di level daerah untuk mencegah dan mengelola konflik. Penegakan hukum menjadi ‘sekam’ di Tanjung Balai. Kondisi ini sudah menjadi ‘bara’, yang mudah dipicu oleh masalah apa pun. Isu SARA menjadi pencetus konflik. Kasus Ibu Meiliana adalah pintu masuk untuk memicu dan meluapkan kemarahan massa.
Komnas Perempuan memandang bahwa penghukuman terhadap Ibu Meiliana merupakan preseden buruk. Terutama bagi Indonesia sebagai Negara Hukum yang punya prinsip utama dalam asas legalitas dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Membiarkan bibit penyelesaian dengan kekerasan terus berlangsung akan membahayakan pertumbuhan Indonesia sebagai negara demokrasi.
Pelanggaran atas asas legalitas berdasar adanya ketidakpastian hukum. Putusan hakim pada perkara Ibu Meiliana mengacu pada Dakwaan Jaksa Pasal 156 KUHP jo Pasal 156a Huruf (a), dengan menyandarkan pada unsur perbuatan di muka umum. Proses hukum abai atas fakta hukum yang ada. Padahal Ibu Meiliana tidak menyampaikan keluhannya di muka umum, tetapi kepada tetangganya. Komunikasi yang terjalin antartetangga dekat dalam suasana terbuka, karena Ibu Meiliana tinggal selama 8 tahun di Tanjung Balai.
Tidak ada permusuhan dan kebencian satu sama lainnya. Kesimpangsiuran atas tuduhan penodaan agama telah diklarifikasi oleh Ibu Meiliana dan keluarga pada tanggal 29 Juli di Kantor Kelurahan Tanjung Balai. Tetapi itu berdampak pada pengusiran dirinya dan keluarganya. Ibu Meiliana dan 4 orang anaknya dipaksa pergi dari rumah yang sudah didiaminya selama 8 tahun.
Berdasarkan keterangan Ahli Dr. Rumadi yang dihadirkan oleh Komnas Perempuan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Medan pada 7 Agustus 2018. Bahwa apa yang dilakukan terdakwa bukanlah pernyataan permusuhan, tetapi pernyataan perasaan terganggu dengan volume pengeras suara azan. Tidak ada intensi memusuhi. Dia juga bukan melakukan penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama.
Dikaitkan dengan Pasal 1 UU PNPS/1965, Ibu Meiliana tidak melakukan dukungan umum juga tidak menyampaikan perasaannya di muka umum. Dia hanya menyampaikan pada tetangga dekatnya, dan tidak disebarkan ke banyak orang.
Dia juga tidak melakukan penafsiran agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Ahli menyampaikan pandangannya bahwa azan dan pengeras suara adalah dua hal yang berbeda. Mempermasalahkan pengeras suara azan tidak bisa dimaknai mempersoalkan azan. Jadi, terhadap Ibu Meiliana, seharusnya tidak bisa dijerat dengan pasal penodaan agama.
Selain itu, Komnas Perempuan juga sudah mengirimkan Surat Rekomendasi No. 029/KNAKTP/Pimpinan/VIII/2018 kepada Ketua Pengadilan Negeri Medan, cq Majelis Hakim. Hal: Informasi Temuan dan Rekomendasi Komnas Perempuan Untuk Register Perkara terdakwa ibu Meliana.
Garis besar surat tersebut mencakup kerentanan Ibu Meiliana yang alami diskriminasi berlapis sebagai perempuan, dari etnis dan agama minoritas. Pandangan para ahli hukum, agama dan bahasa bahwa tidak ada unsur kesengajaan. Tidak terbukti mengungkapkan perasaan permusuhan atau penghinaan terhadap azan. Dan sudah ada permintaan maaf dan penyelesaian secara damai. Selain itu, temuan-temuan tentang konteks ketegangan dan konflik di Tanjung Balai bahwa kasus Ibu Meliana tidak bisa berdiri sendiri.
Komnas Perempuan mencatat penghukuman kepada Ibu Meiliana dan kasus-kasus serupa tidak bisa dilepaskan dari adanya tekanan massa dari awal peristiwa. Hingga berjalannya proses hukum sampai putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan. Komnas Perempuan memandang bahwa proses hukum pada Ibu Meiliana jangan sampai menjadi proses peradilan yang tidak adil (unfair trial). Proses hukum pada seseorang didasarkan bukan pada pelanggaran/kejahatan yang dilakukan, tetapi karena adanya tuntutan massa (trial by mob).
Kasus ini merupakan bentuk kriminalisasi kepada Ibu Meiliana, sebagai perempuan dalam kelompok minoritas yang sangat rentan untuk diperlakukan secara diskriminatif. Ibu Meiliana dan keluarganya mengalami pengusiran paksa, pemiskinan akibat tindakan kelompok intoleran. Sehingga hak-hak konstitusionalnya terenggut; hak atas rasa aman, hak atas jaminan perlindungan dan kepastian hukum Pasal 28D (1). Serta perlindungan dari tindakan kekerasan Pasal 28D (2), perlindungan atas diri, keluarga, dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi Pasal 28 G(1).
Atas fakta persoalan yang dijabarkan di atas, Komnas Perempuan meminta bebaskan Meiliana dari tuntutan hukum, karena bukan kasus tindak pidana, dan meminta pihak-pihak terkait di bawah ini, yaitu:
- Pemerintah dan DPR agar menjalankan amanat Mahkamah Konstitusi untuk melakukan revisi terhadap UU No.1/PNPS/1965 agar tidak menjadi ‘bola liar’ yang digunakan untuk memberangus kelompok-kelompok minoritas;
- Mahkamah Agung agar melakukan pengawasan dan pembinaan kepada hakim dalam menjalankan proses peradilan yang fair atas proses hukum Ibu Meiliana dan kasus lain yang serupa;
- Komisi Yudisial agar melakukan pengawasan terhadap proses peradilan dan perilaku hakim pada perkara Ibu Meiliana;
- Pemerintah Daerah Kota Tanjung Balai agar melakukan langkah-langkah strategis untuk rekonsiliasi konflik yang terjadi, dengan melibatkan perempuan sebagai pihak yang dipertimbangkan suara dan partisipasinya;
- Pemerintah Daerah agar memberikan jaminan keamanan, perlindungan, dan pemulihan komprehensif kepada Ibu Meiliana dan keluarga akibat tuduhan penodaan agama;
- Lembaga dan Tokoh Agama di Tanjung Balai khususnya, agar membangun ruang dialog antara kelompok untuk menghentikan kebencian, prasangka, dan permusuhan yeng berdampak pada konflik destruktif dan kekerasan.
Bebaskan Meiliana, Bebaskan Meiliana, Bebaskan Meiliana…!!!
Kontak Narasumber:
- Riri Khariroh Ali, Komisioner
- Imam Nakha’i, Komisioner
- Magdalena Sitorus, Komisioner
- Yuniyanti Chuzaifah, Komisioner
*Pernyataan Sikap Komnas Perempuan: Bebaskan Meiliana dari Kriminalisasi; Jakarta, 24 Agustus 2018
- Figur Presiden Lebih Kuat daripada Partai Politik - 8 September 2023
- Rakyat Indonesia Menolak MPR Jadi Lembaga Tertinggi Negara - 27 Agustus 2023
- Tren Dukungan Bakal Calon Presiden 2024 - 25 Agustus 2023