“Faris masih asyik cerita sama Ayah Bun.” Faris menjawab panggilan ibunya sedikit berteriak. Kebetulan jarak dari beranda, tempat Faris bercerita dengan Ayahnya cukup jauh dari dapur.
“Sini sebentar sayang. Ambilkan kopi dan gorengan untuk ayah dan kamu. Biar perbincangan kalian semakin menyenangkan” Bu Densi kembali berteriak dari dapur. Dia sangat mencintai suami dan anaknya.
“Siap meluncur Bunda, kalau urusan makanan dan minuman Faris selalu di depan” Jawab Faris bergurau sambil berlari pelan menuju dapur.
Faris bergegas dan menemui ibunya yang sedang menyiapkan santapan malam. Di sela kesibukan menyediakan hidangan, ibu Densi yang sangat mencintai suami dan anaknya juga menyiapkan dua gelas kopi. Bu Densi tahu bahwa suami dan anaknya adalah penggemar kopi.
Kopi hitam menjadi teman setia narasi-narasi yang dikembangkan oleh Pak Dus dan Faris dan kadang bertiga dengan Bu Densi. Keluarga mereka memiliki kebiasaan untuk bercerita banyak hal di akhir pekan di beranda rumah sambil menyaksikan matahari yang kemerahan perlahan meninggalkan peraduannya.
Ketiganya mengamini bahwa senja itu memiliki beribu inspirasi. Mereka selalu meluangkan waktu untuk bercerita dengan keluarganya sambil menyaksikan tengelamnya sang mentari dari sela pohon cemara yang seumuran dengan Pak Dus. Senja adalah momen untuk merenung dan bersyukur akan karya-karya sepanjang hari. Bagi keluarga kecil ini, memandang senja adalah usaha untuk melihat keagungan Sang Khalik sembari mensyukuri pengalaman sehari yang akan berlalu.
“Ayah sebenarnya bukan pengagum senja Far” Pak Dus memulai lagi pembicaraanya setelah Faris menghidangkan kopi dan gorengan di atas meja kecil di beranda rumah itu.
“Memangnya kenapa Ayah?” tanya Faris penasaran.
Faris duduk menghadap ke arah barat mengikuti gaya duduk ayahnya yang memandang tenggelamnya senja.
“Ayah pernah sungguh-sungguh mencintai seorang wanita sebelum menikahi dengan bundamu. Wanita itu adalah pengagum senja. Selama ayah menjalin asmara dengannya, setiap sore diakhir pekan, kami selalu menyaksikan senja berdua dari celah pohon cemara yang tumbuh di samping rumah tempat ia tinggal. Sayangnya wanita itu juga seperti senja Far, keindahannya hanya sementara. Dia pergi dibalik pekatnya malam. Bahkan dia meninggalkan luka yang lara di hati ayah”. terang Pak Dus sedikit melo dan berwibawa. Suara beratnya merepresentasikan keseriusannya dalam bercerita.
Pak Dus menceritakan ini, untuk menguatkan putranya yang merasa tidak berarti apa-apa setelah putus dengan Melati. Pak Dus mengetahui bahwa anaknya sangat mencintai Melati. Bahkan Faris sering menyebut nama Melati di guyonan keluarga kecil mereka. Kehilangan Melati membuat Faris merasa hampa dan tidak berharga lagi. Faris merasa dikhianati oleh orang yang seharusnya menjadi kekasihnya bahkan menjadi pendamping hidupnya kelak.
“Siapa nama wanita pengagum senja itu Pa?” tanya Faris datar.
“Namanya Mawar Far” Jawab Pak Dus.
Pak Dus merasa tidak nyaman membicarakan perihal Mawar. Pak Dus tidak bisa melupakan semua momen yang telah diabadikan dalam otaknya bersama Mawar. Setiap kali ada yang menyebut nama Mawar, dia selalu mengingat kesalahannya.
Bahkan lebih dari itu Pak Dus merasa tidak berharga lagi. Pak Dus sudah berusaha untuk meninggalkan segalanya, tapi kenangan demi kenangan kembali menderanya saat nama Mawar disebut. Mawar memang terluka dan Pak Dus juga ikut terluka.
“Namanya bagus ya Ayah!” Faris memuji. “Sepertinya dia satu server dengan Melati, soalnya gemar ghosting di saat sayang-sayangnya… heheh…” Faris bergurau.
Halaman selanjutnya >>>
- Beranda Kenangan - 4 Desember 2022
- Idealisme Johann Gottlieb Fichte dan Relevansinya - 21 November 2022