Berhenti Membandingkan

Berhenti Membandingkan
©Kly

Sejak belajar matematika, saya selalu berhati-hati membandingkan apa pun yang ada di hidup saya. Matematika mengajarkan itu.

Dalam matematika, yang bisa dibandingkan adalah besaran yang mempunyai dimensi yang sama. Besaran adalah segala sesuatu yang diukur secara kuantitatif. Tentunya dengan ukuran yang jelas.

Akan aneh misalnya Anda membandingkan mana yang lebih besar antara 1 kg dengan 1 liter. Ini adalah perbandingan yang absurd sebab keduanya berbeda dimensi. Kg ada pada dimensi berat (massa) sedangkan liter pada dimensi volume. Kedua satuan itu tidak bisa disamakan selayaknya Anda membandingkan mana yang lebih panjang antara 1 m dan 100 cm.

Yang lebih aneh lagi adalah membandingkan dua hal yang keduanya bukan besaran. Misalnya membandingkan kasih sayang antara ibu dan ayah.

Pertama, kasih sayang bukan besaran yang bisa diukur. Uang atau lama waktu ayah atau ibu bersama anaknya bukan satuan untuk mengukur kasih sayang.

Kedua, keduanya berada pada dimensi yang berbeda. Kasih sayang ayah mungkin lebih tersembunyi, dan berada di balik setiap peluhnya. Sedangkan kasih sayang ibu biasanya lebih meluap-luap dari setiap perhatiannya.

Sekilas mudah memahaminya, bukan? Tapi nyaris setiap hari kita selalu terjebak dalam perbandingan-perbandingan itu. Tanpa kita sadari, kita terus mengukur segalanya lalu membandingkannya.

Seorang yang tidak suka pemerintah Jokowi biasanya membandingkan dengan pemerintahan Soeharto. Menurutnya, di Orde Baru, segala sesuatunya lebih murah. Tidak seperti sekarang yang nyaris setiap saat harga bahan pokok naik.

Baca juga:

Perbandingan ini, menurut saya, adalah konyol. Bagaimana tidak, membandingkan dua pemerintah dari dua masa yang masanya terlampau berbeda.

Beras mungkin murah di era Soeharto, tapi tak semua rakyat bisa makan nasi. Ini berbeda dengan saat ini, di mana beras katanya terus naik, tapi banyak yang bisa menikmati nasi. Jadi, murah tapi tak terbeli atau mahal tapi terbeli? Apakah ini berarti Jokowi lebih baik? Saya tak mengatakan demikian.

Sebaliknya, seorang pengagum Jokowi mungkin mengatakan bahwa di era sekarang, Jokowi lebih menjamin kebebasan berpendapat daripada di zaman Orde Baru. Ini juga menurut saya ukurannya agak absurd.

Di era Soeharto, masyarakat kita belum banyak yang terdidik sebagaimana saat ini. Memberikan banyak kebebasan kepada warga yang belum terdidik bisa menjadi bencana. Seorang ayah yang tahu anaknya masih bodoh tentu akan lebih banyak mengaturnya. Jadi apakah Soeharto lebih baik?

Saya tidak mengatakan begitu. Sebagaimana judul tulisan ini, berhentilah membandingkan. Tuhan sudah menganugerahkan kita presiden terbaik di setiap eranya.

Berhentilah membandingkan. Sebab Anda tak akan menemukan hasil yang pasti dan memuaskan. Anda akan selalu mendapati bahwa 10 kg lebih berat daripada 5 kg.

Sebanyak apa pun Anda membandingkan, Anda mendapatkan hasil yang sama. Tapi itu hanya berlaku pada besaran dengan dimensi yang sama. Dalam hidup Anda, akan lebih banyak hal-hal yang tidak bisa diukur.

Saat Anda membandingkan rezeki Anda dengan rezeki tetangga, niscaya jawabannya bisa berubah setiap saat. Di satu hari, Anda akan mendapati Anda lebih beruntung sebab pendapatan Anda lebih banyak, pekerjaan Anda lebih baik, rumah dan mobil Anda lebih baik.

Halaman selanjutnya >>>
Rachmat Hidayat
Latest posts by Rachmat Hidayat (see all)