Bersetubuh dengan Tradisi Intelektual, Tidak Mesti Hot (Bagian 2)

Fazlur Rahman melihat sosok-sosok Sayyid Ahmad Khan, Namik Kemal, dan Muhammad Abduh sebagai reformis mampu mengubah pandangan dunia Islam melalui disiplin filsafat, ilmu pengetahuan modern, dan teologi.

Semuanya akan mengalami kelahiran kembali filsafat, teologi, sains, dan etika jika berada dalam pandangan ilmiah modern atau gemblengan pendidikan modern. Kita kembali ke tradisi sejarah berarti reorientasi sistem menuju tradisi intelektual Islam yang kreatif. Cara itu dipercaya untuk membangun tradisi ditandai oleh kaum terpelajar Islam modern. (hlm. 51-53)

Lain lagi, pada taraf pendidikan tinggi, mimpi dan hasrat pengetahuan Fazlur Rahman atas disiplin matematika, kimia, astronomi, dan kedokteran sebagai pencapaian di abad tujuh belas dan delapan belas cukup menggodanya tatkala disiplin ilmiah tersebut bisa tumbuh, berkembang, dan menyebar sebagai tradisi intelektual Islam di masa mendatang. (hlm. 63)

Kisah kaum perempuan di sekolah atau di perguruan tinggi mendapat perhatian dalam tradisi intelektual dan ‘modernisme Islam klasik’. Mimpi dan hasrat untuk pengetahuan bangkit kembali dari pendidikan kaum perempuan. Selain memahami Alquran, mereka juga dididik tentang ilmu pengetahuan, cinta kasih, dan kebajikan lain.

***

Marilah kita bayangkan hal yang berbeda. Bagaimana kita bisa berhasil mengakui sebagai filsuf, saintis atau pemikir besar Islam di tengah tradisi intelektual atas perbedaan modernisme klasik dan modernisme kontemporer?

Sebetulnya, perbedaan tidak dibiarkan begitu saja dalam dialektika, ketika disiplin filsafat dengan penggunaan interpretasi baru atas Islam justru ketika disiplin teologi mendapat pemikiran baru di abad pertengahan.

Ibnu Sina dan al-Farabi menjadi representasi yang layak disebutkan di sini. Keduanya bisa menyediakan ruang dialog imajiner kecil. “Di sini terang, bukan gelap. Saat filsafat dan teologi diperhadapkan dengan interpretasi atas Alquran, maka di luar tampak terang, jelas, dan plural.”

Tanpa dialektika, karena disiplin ilmu Islam dan non Islam atau tanpa sistem pemikiran dari satu tradisi intelektual. Disiplin filsafat dan disiplin ilmiah ditujukan pada keberhasilan sejarah pengetahuan. Jika interpretasi adalah pembongkaran perlahan atas tradisi intelektual yang tampil dalam jejak, tanda, dan bekas pemikiran modern akan menentukan suatu arah tertentu.

Baca juga:

Rangkaian tradisi intelektual juga bisa dibaca sebagai sesuatu yang tidak berarti apa-apa, kecuali memikirkan kembali Islam, di mana disiplin filsafat dan disiplin ilmiah tersebut muncul.

Begitulah konteks suatu sejarah pengetahuan. Lantas, sosok reformis menafsirkan secara kreatif apa kemungkinan bisa dikembangkan dalam ‘Islam normatif’ menjadi mungkin ‘Islam historis’. (hlm. 124)

Tradisi sejarah ilmu pengetahuan bukanlah titik tolak sejarah kebenaran atas disiplin Islam, kecuali membayangkan bahwa sejarah perbedaan diskursus menghasilkan reinterpretasi dan lalu memberikan kebenaran tersendiri tanpa sebuah asumsi mengada-ada.

Dalam permasalahan yang lebih kompleks, tradisi dan ide memang demikian terdesak, saat pertanyaan datang silih berganti.

Sosok Fazlur Rahman mencoba memikirkan tradisi intelektual dan modernitas dari arah lain secara lebih problematis daripada mengkomplekskan pemikiran dialektis di balik pertanyaan dan jawaban, yang semuanya belum tentu muncul dalam konteks kehidupan lain.

Sebagaimana kehidupan dan pemikiran modern, tradisi intelektual pun bisa bertahan sekian lama. Tradisi, ide, dan pikiran paling sesuai dengan zamannya, yang ditopang oleh kemampuannya pada relasi timbal balik.

Nyaris semua peradaban maju di atas bumi berkat persilangan tradisi atau proses hibrida setelah terjadi relasi timbal balik yang memadai.

Relasi antara disiplin Islam dan disiplin Barat dalam sejarah pengetahuan menjadi bukti bahwa kuat atau lemahnya suatu tradisi intelektual akan dipengaruhi oleh sejauh mana hasil persilangan kreatif alias hibrid yang terbuka, cair, dan tanggap.

Halaman selanjutnya >>>
Ermansyah R. Hindi