
Ulasan Pers – Bila yang maju dalam pemilihan presiden tiga pasangan, pemilihan presiden kemungkinan berlangsung dalam dua putaran.
Hal ini diungkapkan ilmuan politik, Prof. Saiful Mujani, dalam program Bedah Politik episode “Prabowo-Puan vs Ganjar-Airlangga atau Anies-AHY?” yang tayang di kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 21 April 2022.
Video utuh pemaparan Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/EwbnTBx19G0
Saiful menunjukkan bahwa bila pemilihan presiden dilakukan saat ini dan yang maju adalah tiga pasangan: Anies Baswedan – Agus Harimurti Yudhoyono, Ganjar Pranowo – Airlangga Hartarto, dan Parbowo Subianto – Puan Maharani, maka hasilnya hasilnya seimbang.
Secara statistik suara mereka tidak berbeda signifikan. Anies-AHY mendapatkan 29,8 persen suara, Ganjar-Airlangga 28,5 persen, dan Prabowo-Puan memperoleh 27,5 persen. Masih ada 14,3 persen yang belum menjawab atau tidak tahu.
Saiful menjelaskan bahwa suara yang berimbang ini akan mengakibatkan pemilihan presiden tidak berlangsung satu putaran, melainkan dua putaran.
Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta ini menjelaskan setidaknya ada enam faktor yang bisa memengaruhi partai politik bisa berkoalisi dan mendukung satu pasangan tertentu.
Faktor pertama, kesamaan platform partai atau ideologi. Ideologi yang dimaksud dalam konteks Indonesia adalah partai yang lebih nasionalis atau kebangsaan, partai yang lebih pluralis dalam pengertian inklusif terhadap pelbagai identitas.
Baca juga:
- Pemilih Umumnya Berorientasi Politik Kebangsaan, Bukan Politik Islam
- Sejarah Lahirnya Partai Politik dengan Beragam Ideologi
Di sisi yang lain ada partai yang lebih menekankan Islam, lebih eksklusif karena Islam lebih diutamakan, kurang terbuka pada semua unsur yang beragam dalam masyarakat Indonesia.
Saiful menilai ada dua kutub ideologi politik di Indonesia. Kutub yang paling nasionalis adalah PDIP. Sementara kutub yang paling Islam adalah PKS.
Karena jarak ideologisnya jauh, antara PDIP dan PKS, maka kemungkinan untuk bersama-sama di tingkat nasional tidak mudah. Sementara partai-partai dalam spektrum antara PDIP dan PKS bisa berkoalisi dilihat dari sisi ideologi, misalnya PDIP dengan Golkar, Demokrat, dan Nasdem.
Faktor kedua, komunikasi elite. “Komunikasi elite sangat menentukan,” kata Saiful.
Dia menjelaskan bahwa sejak Pemilihan Presiden 2004 sampai sekarang, terlihat PDIP dan Demokrat tidak mudah untuk melakukan komunikasi. Ketika Demokrat berkuasa dan SBY sebagai presiden, PDIP memilih sebagai partai oposisi.
Ketika PDIP berkuasa, sebagai partai terbesar pendukung pemerintah, Demokrat sebenarnya ingin bergabung sebagai partai pendukung pemerintah, tapi PDIP tampaknya tidak menerima.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, lanjut Saiful, Nasdem dan Gerindra juga tidak mudah untuk bertemu. Mereka punya pengalaman tersendiri tentang itu. Belakangan, Nasdem dan PDIP juga tidak mudah berkomunikasi.
“Oleh karena itu, faktor kemudahan komunikasi dan suasana kebatinan di antara elite partai akan memengaruhi formasi koalisi,” simpulnya.
Halaman selanjutnya >>>
- Perilaku Jokowi ke PDI Perjuangan Dinilai Kurang Pantas - 24 November 2023
- Publik Percaya Jokowi Sedang Membangun Politik Dinasti - 23 November 2023
- Keputusan MK Tidak Adil, Hanya Memenuhi Keinginan Gibran Menjadi Cawapres - 13 November 2023