Bimbangnya Jadi Kaum Kelas Menengah

Bimbangnya Jadi Kaum Kelas Menengah
©IndustryWeek

Kelas menengah sering dianggap sebagai golongan mampu, terutama untuk membiayai pendidikan anaknya di perguruan tinggi.

Fenomena kehidupan masyarakat di Indonesia terbagi menjadi beberapa kelas sosial. Hal ini terjadi karena adanya ketimpangan sosial ekonomi.

Macam-macam kelas ekonomi di Indonesia terdiri dari kelas atas (upper class), kelas menengah (middle class), dan kelas bawah (lower class). Ada banyak faktor yang melatarbelakangi anggota masyarakat bisa tergolong dalam kelas-kelas tertentu, seperti faktor penghasilan, ekonomi, dan juga pekerjaan.

Kelas bawah merupakan kelas dengan penghasilan rendah yang di bawah upah minimum. Kelas menengah berada di tengah antara kelas bawah dan kelas atas. Sedangkan kelas atas sendiri memiliki penghasilan di atas rata-rata.

Kelas menengah sering dianggap sebagai golongan mampu, terutama untuk membiayai pendidikan anaknya di perguruan tinggi. Ya, namanya kelas menengah, pasti ada di tengah-tengah, dong. Tidak kaya, tidak miskin. Justru ini yang memunculkan banyak perdebatan.

Kelas menengah tidak jarang dipandang sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. World Bank mengatakan, pertumbuhan kelas ini sangat cepat, tetapi masih banyak yang termasuk dalam kelompok menjelang kelas menengah, yaitu kondisi di mana bisa kapan saja kembali pada posisi ekonomi rentan, atau miskin.

Pemerintah dalam praktiknya baru berfokus pada masyarakat miskin atau kelompok bawah saja. Sedangkan dampak dari pandemi dialami oleh semua orang dari berbagai kelas masyarakat, termasuk kelas menengah dan kaum borjuis.

Indonesia memang didominasi oleh kaum  menengah, karena kehidupan kaum ini dianggap cenderung stabil. Padahal jika berbicara mengenai keadaan finansial seseorang itu pasti fluktuatif, terkadang berada di bawah, kalau sedang bernasib mujur ya bisa berada di atas.

Lika-liku perjalanan hidup kaum kelas menengah tentu tidak mudah. Ditambah dengan adanya pandemi yang tentu saja memorakporandakan sebagian—atau bahkan semuanya. Kesulitan akses pendidikan, ekonomi, ataupun kebutuhan sekunder yang makin sulit untuk digenggam.

Ketika berbicara tentang akses pendidikan kaum middle class, tentu banyak dari mereka yang menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Dari sini muncul permasalahan baru, kaum menengah dengan ekonomi pas-pasan sering kali kesulitan dalam keuangannya, terlebih untuk membiayai pendidikan anak di perguruan tinggi.

Biaya perguruan tinggi tentu beragam, dan sepengalaman dari anak yang orang tuanya kelas menengah adalah mendapat bagian UKT (uang kuliah tunggal) yang juga menengah. Sulitnya di sini, kaum kelas menengah tidak bisa mendapat UKT rendah karena dianggap golongan mampu, padahal kenyataannya tidak begitu.

“Beasiswa, kan, banyak, kenapa gak nyoba daftar?”

beasiswa untuk tingkat perguruan tinggi memang banyak. Tapi jangan lupakan syarat-syaratnya yang juga banyak. Contohnya, anak kelas menengah kesulitan mendapat beasiswa bidikmisi karena dianggap masih mampu membiayai pendidikannya jika dibandingkan dengan masyarakat yang kurang mampu atau menengah ke bawah. Sudah mencoba mendaftar tetapi tidak lolos. Begitu pun dengan beasiswa-beasiswa lain yang menggunakan persyaratan dengan embel-embel “kartu”, “surat”, yang tentu jarang dimiliki kaum kelas menengah.

Ada lagi beasiswa-beasiswa lain yang tidak menggunakan persyaratan tersebut, tetapi tetap saja tidak lolos. Kenapa? Karena tidak pintar. Ini yang banyak dialami kaum kelas menengah.

Beasiswa memang banyak, jangan lupakan bahwa yang mendaftar juga sudah pasti banyak. Kaum menengah bukannya “kurang berusaha untuk menjadi pintar”, tetapi yang banyak terjadi adalah pendidikan bagi kaum kelas menengah hanya sebatas pendidikan formal.

Jika kaum kelas menengah ke bawah mendapat bantuan beasiswa kurang mampu untuk membiayai pendidikannya, kelas menengah atas mempunyai uang yang banyak untuk biaya pendidikan. Kelas menengah? Berusahalah dan berjuang sekerasnya untuk menjadi pintar, pun untuk kaum menengah ke bawah, mari sama-sama menaikkan kondisi ekonomi keluarga. Teruntuk kaum menengah ke atas, berusahalah dan manfaatkanlah privilege kalian untuk bisa mengembangkan masyarakat.

Untuk privilege sendiri, setiap kaum pasti memiliki privilege-nya masing-masing. Jangan pernah menyalahkan takdir jika kita terlahir dari keluarga yang biasa saja. Justru harus bisa termotivasi untuk menaikkan derajat ekonomi keluarga dan berfokus menjadi lebih baik. Usaha lebih keras lagi, privilege hanya satu dari sekian juta ‘jalan’ menuju sukses.

Bersyukur itu penting, tetapi tetaplah berfokus pada tujuan. Tetap semangat dan jangan menyerah. “Jika kita tidak terlahir dari keluarga kaya, maka keluarga kaya yang harus terlahir dari kita.”

Inggriana Sahara Bintang
Latest posts by Inggriana Sahara Bintang (see all)