Blunder, Pinter, Keblinger

Blunder, Pinter, Keblinger
©Media Indonesia

Blunder, Pinter, Keblinger

“Membiarkan emak-emak dan ibu-ibu untuk melahirkan anak-anak yang tidak berakhlak, itu adalah satu dosa kepada bangsa ini. Bangsa ini akan hancur manakala generasi mendatang itu tidak punya etika dan tidak punya akhlak,” kata Mahfud.

Bagaimana konstruksi kalimat tersebut? Agar menjadi jelas, kita cari subjeknya terlebih dulu.

Membiarkan adalah kata kerja. Posisi kata ‘membiarkan’ dalam kalimat itu jelas adalah predikat.

Siapa yang melakukan tindak pembiaran, meski tak disebut, itu bisa diduga adalah seseorang atau orang banyak. Artinya, sujek pada kalimat itu, meski tak disebut, bisa tunggal bisa jamak, bisa satu orang atau orang banyak.

Lalu siapa objeknya? Objek adalah pihak yang terkena akibat. Dan di sana ada kata ‘bangsa’. Artinya, bangsalah yang dirugikan atau terkena akibat dari tindakan orang atau orang-orang yang membiarkan ibu melahirkan anak tak berakhlak.

Jadi, secara keseluruhan dapat diduga bahwa pak Mahfud sejatinya memang sedang membicarakan seseorang atau orang-orang. Atas hal apa? Atas tindak pembiaran yang dilakukan oleh seseorang atau orang-orang terhadap seorang ibu yang melahirkan anak tak berakhlak dan menghancurkan bangsa.

Siapakah seorang atau orang-orang itu? Di sini kita bisa mencari korelasi yang paling dekat dengan peristiwa yang baru saja beliau alami.

Apakah itu terkait dengan debat baru-baru ini dan telah membuat beliau merasa tersinggung?

Baca juga:

Bisa ya, bisa tidak. Bahwa dalam debat itu ada peristiwa seorang yang sering dianggap masih sebagai anak kemarin sore dan kemungkinan sudah bikin dia tersinggung, itu pun bisa betul, bisa juga cuma tebak-tebakan. Terserah Anda memaknainya.

Bila ya, apakah anak yang dipersepsikan sebagai tak berakhlak itu adalah sindiran pada anak kemarin sore itu? Lantas, apakah orang yang membiarkan seorang ibu melahirkan anak tak berakhlak itu adalah ayahnya yang juga seorang presiden?

Semua serba persepsi. Hanya imajinasi sesaat mencari saat.

Tapi apa pun itu, kalimat utuh yang dia ucapkan, bila ditinjau dari isi atau makna, kalimat itu sendiri ternyata tidak memiliki unsur logis. Tak berbobot dan bahkan tak ada nalar bisa dipertanggung-jawabkan atas isi kalimat pernyataan itu.

Di sisi mana kalimat itu tidak logis? Ada bayi dalam kandungan yang sudah bisa dinyatakan sebagai tidak berakhlak.

Berakhlak adalah akronim dari berorientasi pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif. Itu semua adalah tentang hasil sebuah perilaku atau perbuatan. Dan itu pasti mustahil dilakukan oleh anak yang masih di dalam perut ibu yang lalu harus dinilai apakah bayi itu layak dilahirkan atau tidak.

Di sini, di saat dia membuat pernyataan itu, keprofesorannya sebagai ahli hukum justru dipertanyakan. Orang yang bergelut di bidang hukum pasti adalah orang yang paham kalimat.

Produk hukum adalah tentang rangkaian kalimat. Bila pada akhirnya beliau bisa terjebak salah membuat kalimat, itu hanya bisa terjadi saat dia lalai. Kondisi marah dan tersinggung karena merasa diremehkan anak kemarin sore, bisa jadi adalah penyebab semua blunder itu.

Baca juga:

Jadi tahu, kan, ke mana semua sifat bijaksana itu pergi? Pantaskah orang dengan emosi seperti itu kelak terpilih menjadi wakil presiden?

Semua ada di tangan Anda.

*Leonita Lestari

Warganet
Latest posts by Warganet (see all)