Sedangkan untuk masalah kesehatan, laporan The Legatum Prosperity Index 2017 menunjukkan Indonesia rupanya juga berada dalam posisi yang buruk. Indeks ini didasarkan pada kesehatan fisik, mental, infrastruktur kesehatan, dan perawatan guna pencegahan berbagai wabah penyakit. Tercatat, Indonesia berada di posisi ke 101 dari 149 negara. Indonesia bahkan kalah dari Laos di posisi ke-94, Vietnam ke-69, Malaysia ke-38, dan Thailand ke-35 (sumber: tirto.id).
Cerdas dan sehat adalah “dua sejoli”. Jika abai pada salah satu, maka keduanya menjadi tidak berarti. Todaro dan Smith (2006) membahasakannya sebagai “dua investasi yang bersamaan dalam satu tubuh”.
Ketiga, maraknya masalah korupsi.
Berdasarkan Corruption Perceptions Index (CPI) 2018, Transparency International (TI) menempatkan Indonesia pada peringkat ke 89 dengan skor 38 (89/38) dari 180 negara, di mana skor dari 0 (sangat korup) sampai 100 (sangat bersih). Posisi Indonesia jauh di bawah beberapa negara Asia Pasifik, yakni Singapore (3/85), Australia (13/77), Hongkong (14/76), Jepang (18/73), dan Korea Selatan (45/57). CPI Indonesia masih di bawah rata-rata skor tiga tahun terakhir di kawasan Asia Pasifik, yakni sebesar 44.
Hasil analisis survei TI menyimpulkan, umumnya kawasan Asia Pasifik hanya ada sedikit kemajuan dalam perang melawan korupsi. Salah satu alasannya adalah melemahnya institusi demokrasi dan hak politik secara keseluruhan.
Demikian, korupsi dinilai berdampak buruk pada percepatan pembangunan bangsa. Ketika orang-orang berdasi (baca: politikus, konglomerat, oligark, dan lain sebagainya) merampok dana investasi, mulai dari urusan pelayanan publik hingga urusan “kitab suci”, maka dampaknya memperburuk kuantitas dan kualitas infrastruktur, tersendatnya pengembangan SDM (sumber daya manusia), biaya sehat dan cerdas menjadi mahal, pertumbuhan ekonomi “jalan di tempat” dan relatif tidak berkualitas, serta masih banyak masalah yang terimplikasi dari kejahatan yang satu ini.
Tercatat, kejahatan “orang-orang berdasi” tersebut di Indonesia telah banyak menodai ayat-ayat konstitusi negara hingga ayat-ayat tuhan. Unik, tidak beradab, dan memalukan. Lalu kita mau berharap pada masa depan generasi muda yang hebat dan bertanggung jawab, sementara kita sendiri mempertontonkan tips dan trik melahap hak-hak generasi?
Baca juga:
- Bonus Demografi: Peluang atau Ancaman bagi Dunia Pendidikan?
- UU Cipta Kerja, Solusi Mengantisipasi Bonus Demografi
Menyoal tentang bonus demografi, berarti kita menyoal tentang hadirnya generasi unggul, punya daya bergaining dalam dinamika pembangunan.
Kira-kira begini. Jika bonus demografi memuncak pada 2028-2030, maka anak-anak Indonesia yang lahir di tahun 2008-an akan mengisi momentum tersebut. Jika anak-anak ini terlahir dari orang tua yang bekerja di bawah perangkap yang penting dapat makan, pendidikan terbatas, sakit-sakitan, tidak punya tabungan, maka generasi seperti apa yang akan kita jumpai pada 16-an tahun mendatang? Unggul? Rasanya sulit. Dungu? Mungkin saja.
Ketakmustahilan Petaka Pembangunan
Adalah Ekonom dan Demograf berkebangsaan Inggris, Thomas Robert Malthus, yang dalilnya dapat dirujuk sebagai latar percapakapan tentang perihal bonus demografi. Dalilnya mengenai jumlah penduduk cenderung meningkat secara geometrik (deret ukur), sedangkan kebutuhan hidup riil dapat meningkat secara aritmatik (deret hitung).
Sederhananya, akan terjadi “saling desak, sikut-menyikut” untuk memenuhi kebutuhan hidup karena terlalu banyak orang dengan kepentingan yang sama. Situasi ini yang sering dibahasakan sebagai “Jebakan Malthusian”.
Lalu harus bagaimana? Perspektif malthusian menawarkan jawaban cepat, “datangkan petaka”, bisa dengan perang hingga bencana kelaparan. Jawaban yang mungkin terdengar gila, tetapi sebenarnya juga tidak mustahil.
Kita memilih tawaran yang lain, langkah preventif. Muncul program Keluarga Berencana (KB) sebagai upaya menekan laju pertumbuhan penduduk, dampaknya pada penurunan rasio ketergantungan. Sialnya, ada program KB lain yang sedemikian menggejala menjadi “Korupsi Berencana”, dari kota hingga desa, dari wali kota hingga kepala desa.
Ketika yang hadir adalah generasi “dungu”, banyak menganggur, pendidikan terbatas, makanan terbatas, keseharian yang penuh “sentimen”, dan seterusnya, maka akan berpotensi memicu konflik sosial. Ketika banyak generasi yang suka “berkelahi”, itu tandanya bukan semata persoalan adu fisik; boleh jadi itu sekaligus merupakan adu kelas sosial.
Halaman selanjutnya >>>
- Bonus Demografi; Peluang atau Petaka? - 21 Agustus 2019