Di hadapan ratusan pemuda dari pelbagai negara dalam acara ASEAN Youth Interfaith Camp 2017 di Jawa Timur, Jusuf Kalla menegaskan, “selama 70 tahun Indonesia merdeka, setidaknya pernah terjadi 10 konflik besar, yang sebenarnya disebabkan oleh ketidakadilan.”
Terbilang miris, karena banyak konflik sosial pada akhirnya menyeret banyak pemuda dalam usia yang produktif. Sebut saja bom Bali, Hotel J.W. Marriot, bom Thamrin, hingga sebaran konflik di daerah-daerah yang bermotif agraria hingga pertambangan.
Sulit mengelak untuk tiba pada masalah ketidakadilan. Gizi buruk, anak putus sekolah, miskin di atas tumpukan emas, hingga korupsi makin merajalela adalah potret dari gejala ketidakadilan itu sendiri. Banyak pelajaran bahwa “bumi, air, kekayaan alam” yang tidak dikelola secara adil telah meneteskan banyak darah dan air mata.
Tujuan akhir proklamasi kemerdekaan adalah “Masyarakat yang Adil dan Makmur”, yang dalam pandangan Mendiang Dawam Rahardjo (2016: xxv), diterjemahkan sebagai penunjuk jalan kesejahteraan. Hal mana penempatan “yang adil” mendahului “yang makmur” bermakna bahwa konstitusi menekankan pencapaian kesejahteraan itu harus dilakukan melalui jalan-jalan yang berkeadilan.
Sebagai epilog, berharap lebih pada momentum bonus demografi, sejatinya Indonesia mesti memilih “perang”: perang melawan koruptor, kebodohan, pembodohan, kemiskinan, serta petaka pembangunan lainnya. Menghadapi bonus demografi bukan semata agenda teknis, tetapi menantang misi ideologis para pemimpin-pemimpin di republik ini.
Ikhtiarnya, bonus demografi mesti kita baca sebagai permintaan generasi akan keadilan sosial-ekonomi, budaya, hukum, maupun politik yang merupakan maujud dari keadilan pembangunan itu sendiri.
Demikian perihal bonus demografi. Sebagai peluang tentu ada, tetapi petaka bukanlah mustahil.
Baca juga:
- Bonus Demografi; Peluang atau Petaka? - 21 Agustus 2019