
Aku membaca sebuah buku tebal
Tiba di halaman 98
aku menemukan darah
Darah itu terselip
pada halaman 98 yang kusam
oleh nodanya sendiri
(itu darah keadilan!)
Halaman yang kusam itu tak terlihat
Ia sengaja dilipat
agar tak dilihat
Ia ditutup-tutupi halaman lain yang bersih
Di halaman 98 itu,
darah telah kehilangan merahnya
yang diserap oleh halaman buku
yang angkuh dan arogan
Siraman Rohani
Seorang Pak Tua
membawa seember berisi rohani
Ia menuju kamar tidur anak-anakNya
lalu menyiram mereka dengan seember rohani
Anak-anak itu bangun dengan damai,
seperti sedang berbaring di atas altar
Mata Ibu
Ibu memperhatikan kompor
“Lihat, sumbunya pendek dan minyaknya habis.
Nyalanya padam.”
“Sini, bu! Biar kubantu.”
Aku menatap mata ibu
Matanya berkobar
Sumbunya kekal
Minyaknya mulia
Nyalanya abadi
Virus
Aku yang dulu menjagamu dengan sentuhan
kini merawatmu dengan senyuman
(cukup mata yang bersentuhan)
Aku yang menjagamu dengan dekat
kini memelukmu dengan jarak
(cukup rasa yang merawat dekat)
Virus telah membunuh segalanya
termasuk menikam seekor merpati tua
yang nyaman mendekam di dadamu
Kacamata
Kita tidak perlu tahu
apa yang dibisikkan gagang kacamata
kepada telinga yang memeluknya
Burung tidak perlu membisikkan kabar kepada telinga
karena kaca telah menjernihkan mata untuk telinga
Bisakah
Bisakah aku pagut segala rindu
yang melekat pada lengkung bibirmu?
Bisakah aku rengkuh segala temu
yang mendekam pada bening bola matamu?
Bisa kah yang kau taruh pada lengkung
bibir cangkirmu?
Angin Rindu
Angin yang mengelus-elus batang lehermu
dan yang menyelip masuk
ke dalam kerah bajumu
adalah merpati yang kukirim
Ia memungut rindu pada setiap doaku
lalu membawanya
mampir ke daun telingamu
Sepoinya telah membuai kelopak matamu
dan sejuknya menyuburkan bunga tidurmu
- Buku Sejarah - 28 April 2020