
Nalar Politik – Suatu hari Buya Hamka makan masakan ikan di restoran Tiong Hwa di Denver, Amerika Serikat.
Saat menikmati gurihnya dan sedang enak-enaknya menyendok, tiba-tiba ia berjumpa barang yang sangat ia takuti, sepotong kecil ham (paha babi).
“Makan terhenti di tengah jalan! Tidak mau diteruskan lagi. Akan murka kepada tauke itu tidak dapat, sebab kami yang salah. Lupa memberi tahu,” tulis Buya Hamka dalam catatan kenangan-kenangan “Empat Bulan di Amerika” seperti dilansir @potretlawas.
Tetapi kejadian tersebut tidak memberatkannya sedikit pun. Buya Hamka merasa harus membedakan benci dan jijik kepada babi karena didikan dari kecil.
“Bertemu daging babi tidaklah haram, bung! Memakannya yang haram!”
Berdasarkan fikih yang ia pahami, jika bertemu daging babi dalam jambar (hidangan), sisihkan daging itu dan makan yang lain.
“Tetapi kalau saya turutkan didikan saya sejak kecil benci dan jijik, terlihat saja pun perut saya sudah menolak, sekeras-kerasnya. Padahal daging babinya belum masuk ke mulut, yang di dalam perut memprotes, Sebelum dia masuk, biarlah kami kembali keluar dari mulut tuan! Bharr!”
Buya Hamka kemudian mengaku insaf, bahwa dirinya sedang di negeri orang; makannya lain, agamanya lain. Yang haram katanya, halal kata mereka.
Baca juga:
- Gus Mus: Babi Kalian Musuhi, Korupsi Kalian Abaikan
- Nasi Padang Babi Dinilai Mencemari Masakan Minang yang Identik Halal
“Dengan segenap daya upaya yang ada, bahaya itu ia elakkan. Tetapi tidak dapat menjamin bahwa dirinya akan terlepas dari bahaya tersebut. Ia sadar sedang melawat ke Amerika, bukan ke tanah Arab.
“Menurut pengetahuan kami, hanya sekali itu kami bertemu daging babi dalam jambar makan, dan sekali melihatnya di tengah meja makan ketika dijamu orang di Salt Lake City.”
Karena mengejar nasi, ia selalu makan di restoran Tiong Hwa dan di kedai orang Filipina. Saat hendak makan, ia senantiasa memperingatkan agar jangan memberinya babi.
Peringatannya pun selalu diindahkan, tanpa perlu memeriksa segala sampai ke dapurnya apakah sendoknya campur, apakah kualinya satu.
“Pada keyakinan saya, agama sendiri tidaklah menuntut saya sampai ke situ. Memeriksa dapur orang, mengomisi kualinya, di tanah yang bukan Islam, pada bangsa yang bukan Islam, adalah satu perkara yang harus menjadi pertimbangan benar lebih dahulu. Agama dan hukumnya bukanlah batu yang beku.”
- Figur Presiden Lebih Kuat daripada Partai Politik - 8 September 2023
- Rakyat Indonesia Menolak MPR Jadi Lembaga Tertinggi Negara - 27 Agustus 2023
- Tren Dukungan Bakal Calon Presiden 2024 - 25 Agustus 2023