Adakalanya mengonsumsi/melakukan tindakan yang terlarang karena darurat; ada pula karena candu.
Seorang kiai yang memimpin istighosah sekaligus ceramah politik. Sepintas, tidak ada yang aneh. Tetapi ada yang menggelitik dalam merangkai premis untuk kemudian membantah (hukum) yang selama ini berkembang, yakni haram memilih Jokowi.
“Kemarin-kemarin,” katanya, “berkembang isu bahwa haram hukumnya memilih Jokowi. Saat ini isu itu telah terbantahkan dengan adanya dukungan, deklarasi santri Madura untuk Jokowi-Ma’ruf.”
Ada dua kemungkinan penalaran hukum yang kiai bangun itu:
- Beliau hendak menyatakan hukum sebaliknya, boleh/tidak haram.
- Karena tidak ada pilihan yang lebih baik (mudlarat), maka boleh memilih Jokowi-Ma’ruf, demi maslahah.
Misalnya, seperti vaksin yang terbuat dari babi. Awal-awal beredar, karena terbuat dari babi, maka haram hukumnya untuk disuntikkan ke bayi. Tetapi tidak lama kemudian, MUI merespons isu tersebut yang membolehkan penggunaan vaksin dengan alasan belum ada vaksin serupa yang tidak terbuat dari babi; untuk menyelamatkan generasi!
Eits, tunggu dulu. Kadang-kadang seseorang memilih sesuatu bukan karena boleh atau karena darurat. Misalnya, yang anak-anak SMP jaman now sukai: miras/oplosan. Mereka tahu bahwa itu tidak boleh/haram, tetapi mereka tetap mengonsumsi.
Artinya, sekalipun ada sebagian orang yang mengonsumsi alkohol/miras/oplosan, tidak berarti membantah hukum (haram) dan menjadikan sebaliknya (boleh). Adakalanya mengonsumsi/melakukan tindakan yang terlarang karena darurat; ada pula karena candu.
Hukum (larangan) tidak berubah (boleh) hanya karena banyak orang yang melanggarnya. Tetapi hukum dapat tercipta dari pergaulan (masyarakat) di dalamnya.
Baca juga:
- Kesetaraan Intelektual atau Kesempatan Mengakses Pendidikan(?) - 1 Februari 2023
- KPK Bubar Sajalah - 9 September 2019
- Abdul Aziz dan Absennya Kedewasaan Berpikir - 5 September 2019