Ketika angin perubahan berhembus di tahun 2014, harapan akan pembaruan dan revitalisasi politik menderu mengalir di benak rakyat Indonesia. Joko Widodo, sosok yang lahir dari tengah-tengah masyarakat, diidentifikasi sebagai pemimpin yang bertendensi untuk menghapus keluh kesah dan mencari keadilan. Namun, dalam perjalanan waktu, fokus harapan itu mulai luntur, membangkitkan kemarahan di kalangan mahasiswa—sebuah generasi yang telah lama dikenal sebagai agen perubahan.
Janji-janji yang dicanangkan selama kampanye nampak bagai embun pagi yang indah, tetapi dengan cepat menguap di bawah terik matahari yang menyengat. Ketidakpuasan kaum muda ini melonjak seiring dengan munculnya isu-isu signifikan yang terabaikan: pendidikan, pekerjaan, dan keadilan sosial. Kurangnya tindakan konkret untuk memenuhi harapan-harapan ini dilihat sebagai pengkhianatan terhadap semangat perjuangan.
Di tengah gejolak itu, mahasiswa mulai tertarik untuk kembali ke jalanan, berunjuk rasa, dan menyuarakan kekecewaan. Demonstrasi yang mereka lakukan bukan sekadar gerakan emosional. Setiap seruan di depan gedung-gedung pemerintahan, setiap spanduk yang dikibarkan, menggambarkan simbol harapan yang tercedera. Kekecewaan ini menjadi nadi bagi gairah mahasiswa, membangkitkan semangat kolektif untuk menuntut pemenuhan janji.
Meneliti lebih dalam, di balik kemarahan ini terdapat rasa kehilangan yang mendalam. Janji-janji Jokowi terhadap pendidikan yang lebih baik sering kali terjun ke jurang ketidakpastian. Anggaran pendidikan, yang semestinya menjadi prioritas, sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan lain, menyisakan mahasiswa dengan impian terpotong. Kenaikan biaya pendidikan yang tak terhindarkan dan ketidakpastian kualitas pendidikan menambah daftar luka yang dialami anak muda ini.
Selain pendidikan, lapangan kerja yang terbatas juga menjadi topik yang menyulut kemarahan. Dengan jumlah lulusan yang terus meningkat, aspek ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih. Mahasiswa berargumen bahwa janji-janji untuk menciptakan lapangan kerja baru tenggelam dalam retorika yang tidak mampu menyelamatkan mereka dari tekanan perekonomian yang makin berat. Mereka sekali lagi merasa ditinggalkan.
Namun, di antara ketidakpuasan ini, ada juga peluang untuk dialog dan rekonsiliasi. Mahasiswa bertekad tidak hanya untuk mengekspresikan kemarahan mereka, tetapi juga untuk terlibat dalam proses kebijakan. Mereka menginginkan keterlibatan dalam pembangunan, berupaya menanamkan ide-ide segar dan inovatif yang mungkin diabaikan pemerintahan. Secara perlahan, unjuk rasa ini berubah menjadi forum diskusi—saat ketika suara mereka semakin ngmelengkapi kekosongan dalam ruang-ruang keputusan.
Sayangnya, penguasa sering kali melihat gerakan mahasiswa sebagai ancaman. Jurang pemisah antara pemerintah dan mahasiswa semakin melebar, diperparah oleh stigma negatif yang diciptakan media. Mahasiswa yang berjuang bukan hanya dipandang sebagai agen perubahan, tetapi juga sebagai provokator yang mengganggu ketertiban publik. Penggambaran ini menambah lapisan kebencian dan ketidakpercayaan di sisi kedua, menciptakan lingkaran setan.
Di sisi lain, harus ada pengakuan bahwa kekuasaan tidak dapat sepenuhnya dipisahkan dari tanggung jawab. Jika seorang pemimpin, seperti Jokowi, tidak dapat memenuhi janji-janji yang diusungnya, maka akan ada konsekuensi. Kelalaian untuk mendengarkan suara hati rakyat, terutama generasi muda, akan mengubah harapan menjadi amarah. Dengan itu, pendidikan sebagai pilar utama peradaban harus diindahkan, tak boleh dianggap remeh. Kualitas pendidikan, kesempatan kerja, dan partisipasi mahasiswa dalam pemerintahan menjadi indikator yang tidak dapat diabaikan.
Menutup bilah narasi ini, situasi yang ada bukan hanya tentang kemarahan mahasiswa atau janji yang dilanggar, tetapi tentang sebuah ekosistem di mana pemimpin dan rakyat berinteraksi. Dialog yang sehat harus tercipta. Suara mahasiswa yang solid, seharusnya bukan dijadikan dua sisi mata uang yang berlawanan, melainkan sebagai satu kesatuan yang dapat menuntun Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.
Tanpa penanganan yang bijak, perjalanan Indonesia akan dipenuhi dengan onak dan duri. Namun, dengan dukungan dari seluruh elemen bangsa, termasuk pemerintah, masa depan yang lebih cerah adalah mungkin. Harapan tetap ada; kini tersisa bagaimana usaha kolektif ini dapat merespons, membangkitkan kembali harapan yang sempat pudar.






