Childfree dan Jebakan Logika Berbahaya di Belakangnya

Childfree dan Jebakan Logika Berbahaya di Belakangnya

Baru-baru ini childfree sedang banyak diperdebatkan oleh warganet Indonesia. Padahal konsep ini sebenarnya sudah lama diperkenalkan. Film India yang berjudul Lion misalnya sudah mencitrakan sepasang kekasih yang memutuskan untuk tak memiliki anak kandung karena alasan tertentu. Mereka justru memilih mengadopsi anak miskin untuk berkontribusi mengurangi kemiskinan dan kerusakan lingkungan.

Saya sangat suka alur filmnya. Rupanya pengaruh film itu sangat besar. Widia Primastika dalam artikelnya yang berjudul  Ketika Lingkungan Menjadi Dasar untuk Tak Punya Anak yang terbit di Tirto pada 2019 lalu, mewawancarai seseorang yang memutuskan untuk tidak memiliki anak gara-gara terisnspirasi dari film India tadi.

Setelah membaca beberapa artikel, saya menemukan ada beberapa narasi yang biasanya muncul dari orang-orang yang mendukung childfree. Kira-kira bunyinya begini:

Menikah itu bisa kok bahagia meskipun tanpa hadirnya buah hati. Bahagia atau tidak itu tergantung yang ngejalaninnya, bukan orang lain. Kalo punya anak cuma karena omongan orang tapi sendirinya belum siap, gimana? Kalo nanti menyesal, kan orang lain cuma bilang kasihan doang.”

Misalnya kalo kondisi finansial belum stabil, atau orang tuanya belum siap mental, kan nanti kasihan anaknya. Apalagi kalo ngelahirin anak tujuannya buat investasi ekonomi, itu namanya egois.”

Punya anak itu gak main-main. Buat apa nambahin satu generasi yang gak berkualitas, yang ujung-ujungnya nambahnambahin masalah di dunia yang sudah bermasalah ini. Korbannya kan anaknya juga. Dan seterusnya… dan seterusnya...”

Saya sepakat, pilihan untuk menikah tanpa keturunan adalah hak masing-masing keluarga. Tapi tulisan ini tidak punya tendensi untuk mendukung atau tidak apakah orang memutuskan untuk menjalani childfree atau sebaliknya. Tulisan ini lebih fokus pada asumsi-asumsi di balik alasan-alasan orang memutuskan untuk childfree.

Setelah saya baca lagi, paling tidak ada dua alasan yang paling mencolok. Pertama, alasan finansial. Kedua, alasan lingkungan.  Jadi keduanya sama-sama didasari oleh narasi ketakutan: takut menurunkan kemiskinan, dan takut nambah kerusakan lingkungan. Pada intinya sama, tidak mau punya anak, takut ujung-ujungnya nanti anaknya sengsara.

Konsep childfree biasanya dikaitkan dengan isu yang lebih besar. Biasanya dikaitkan dengan isu kemiskinan dan degradasi lingkungan. Asumsinya childfree berperan penting dalam “menekan masalah ledakan populasi yang makin membengkak dan tidak terkontrol”. Ini poin utamanya.

Ledakan populasi oleh banyak orang dianggap sebagai masalah utama yang melanggengkan kemiskinan, sebab sumber daya yang tersedia sifatnya terbatas.[1] Sementara itu makin banyak penduduk, berarti juga makin banyak polusi yang dihasilkan, yang ujung-ujungnya menyebabkan krisis iklim atau pemanasan global.[2]

Sampai di sini konsep childfree dibangun di atas asumsi bahwa masalah terbesar di planet bumi ini adalah ledakan penduduk, entah kemiskinan, maupun kerusakan lingkungan, seperti krisis iklim, kelangkaan air dan kelaparan. Bahkan ada yang menambahkan dampak yang lain lagi, seperti ancaman perang dan pandemi. Singkatnya overpopulasi dituduh sebagai domino yang mengancam kehidupan.

Menyembunyikan Ketimpangan

Ketika jumlah penduduk membesar melebihi kapasitas ketersediaan sumber daya seperti tanah dan sumber pangan lainnya, di situlah tepatnya overpopulasi disebut ancaman. Begitu juga soal lingkungan, ancaman akan datang ketika bumi sudah tidak dapat lagi menampung beban karbon yang dihasilkannya.[3]

Benarkah logikanya demikian?

Logika seperti itu berbahaya. Kenapa? Karena ia cenderung menyembunyikan masalah yang sebenarnya yang bersifat struktural. Bagaimana mungkin kita menyalahkan ledakan penduduk sebagai akar kemiskinan, sementara satu persen orang yang menguasai  49,3 persen kekayaan di negeri kita ini.

Ada 4 orang yang kekayaannya melebihi kekayaan 40 persen penduduk, atau setara 100 juta orang di Indonesia.[4] Padahal data BPPS per Maret 2021 menyebutkan kemiskinan di Indonesia ada di angka 27,54 juta orang (meskipun sudah banyak kritik tentang ukuran model BPS ini).[5]

Siapa pun bisa mengatakan, masalah kemiskinan bukan disebabkan oleh karena kebanyakan orang atau kekuarangan makanan, melainkan karena ada segelintir orang yang makan yang terlalu banyak sehingga kebanyakan orang yang lain tidak kebagian.

Alih-alih menyelesaikan masalah ketimpangan sebagai akar masalah kemiskinan, narasi overpopulasi justru menyalahkan kemiskinan mereka. Anggapannya orang miskin jatuh ke dalam kemiskinan karena mereka enggan mengontrol hasrat mereka untuk berkembang biak. Bahkan orang miskin dicap egois karena mereka memperlakukan anak sebagai barang investasi.

Padahal memiliki banyak anak bagi keluarga miskin lebih tepat disebut sebagai  “strategi bertahan hidup” di tengah kondisi yang tak banyak pilihan, ketimbang disebut investasi ekonomistik (apalagi menyebutnya perjudian genetik).[6] Strategi itu dipilih karena memang tidak adanya pilihan lain. Ibaratnya, sudah jatuh ketiban tangga, disalahkan pula.

Mengaburkan Pelaku Perusak Lingkungan

Sementara itu narasi yang menyalahkan overpopulasi sebagai penyebab utama degradasi lingkungan seperti pemanasan global sama-sama berbahayanya. Narasi ini mengandaikan bahwa pemanasan global disebabkan karena daya tampung bumi yang terbatas harus berhadapan dengan kenaikan jumlah populasi yang terus membesar.

Misalnya narasi yang coba disampaikan Koresponden BBC News, Richard Black, yang merunut sejarah kenaikan suhu global yang memasukkan kenaikan beban karbon dan peningkatan populasi sebagai variabel utamanya. Narasi itu hendak mengatakan bahwa masalah kenaikan populasi yang tak terkontrol menyebabkan kenaikan beban karbon yang juga tak terkontrol, serta bagaimana lembaga-lembaga internasional berupaya menyelesaikannya.

Padahal sudah jelas yang paling menyebabkan kerusakan lingkungan adalah segelintir orang yang menguasai modal. Banyak literatur atau film dokumenter yang sudah menampilkan siapa penyebab utama degradasi lingkungan termasuk salah satunya perubahan iklim.

Film yang sempat viral Sexy Killer karya Watchdoc Documenter[7] misalnya, jelas menunjukkan bahwa oligarki batu baralah yang paling mencemari lapisan ozon dan merusak ribuan hektare pulau Kalimantan oleh pertambangan. Lalu dokumenter Kesepakatan Rahasia Hancurkan Surga Papua besutan The Gecko Project[8] menyimpulkan bahwa korporasi besar sawit menjadi biang kerok pembalakan dan pembakaran hutan.

Kita juga bisa tonton banyak sekali dokumenter Indonesiaku Trans 7 di YouTube yang menunjukkan dampak-dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan dengan modal besar. Justru di sana masyarakat golongan miskin lah yang paling terdampak perusakan lingkungan di sekitar operasi industri perusahaan tersebut.

Mudah ditebak, siapa yang diuntungkan dari operasi perusahaan besar-besar yang merusak lingkungan itu? Lagi-lagi segelintir orang yang jumlahnya 1 persen itu, bukan orang-orang miskin. Misalnya empat kerajaan bisnis yang disebut terkaya di Indonesia versi Forbes, bergerak di semua bidang industri keruk dan kuras seperti batu bara, air mineral, sawit, dan infrastruktur. Semuanya sektor merusak lingkungan, menggusur dan merampas hak orang-orang miskin.

Jadi, wacana childfree mengandung asumsi-asumsi yang mengajak  orang-orang untuk ramai-ramai merasakan katakutan kurang mendasar. Ketika rasa takut itu tak cukup berhasil menghentikan mereka, ia kembali datang dalam bentuk rasa bersalah: bersalah atas fenomena kemiskinan dan kerusakan lingkungan.

Singkatnya, childfree dan wacana darurat overpopulasinya berpotensi menyalahkan yang tak bersalah, menyembunyikan yang patut dipersalahkan.

_____________________________

[1] Lihat Redaksi The Borgen Project, Poverty and Overpopulation

[2] Sian Cain, Why A Generation Is Choosing To Be Childfree

[3] National Geohraphic, Ledakan Penduduk Dunia dan Efek Domino yang Mengancam Kehidupan

[4] Wijayanto, Oligarki, Ketimpangan Ekonomi dan Imajinasi Politik Kita

[5] BPS, Persentase Penduduk Miskin Maret 2021 Turun Menjadi 10-14 Persen

[6] Peyebutan sinis dengan kosa kata perjudian genetik ini disampaikan di laman resmi BKKBN Jawa Barat

[7] YouTube, Sexy Killer

[8] YouTube, Kesepakatan Rahasia Hancurkan Surga Papua