Contoh Kesombongan Dan Tidak Membuminya Para Sjw

Dwi Septiana Alhinduan

Dalam atmosfer sosial yang semakin kompleks, keberadaan aktivisme sosial dan kepekaan terhadap isu-isu keadilan telah menjadi sorotan global. Di tengah gejolak tersebut, generasi yang dikenal sebagai Social Justice Warriors (SJW) muncul dengan semangat dan idealisme yang tinggi. Namun, tak jarang sikap yang ditunjukkan oleh sebagian dari mereka melahirkan kesombongan dan ketidakmampuan untuk merasakan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Dalam konteks ini, penting untuk mendalami bentuk-bentuk kesombongan serta dampak dari sikap tidak membumi yang muncul dalam perilaku SJW.

Kesombongan dapat dilihat dari berbagai perspektif. Pertama, terdapat kesombongan intelektual. Sebagian SJW menunjukkan pengetahuan yang mendalam tentang isu-isu sosial, namun seringkali merendahkan orang-orang yang tidak sepaham atau kurang memahami topik yang dibicarakan. Dalam diskusi publik, pendekatan ini kerap mengakibatkan terciptanya jurang antara mereka dengan masyarakat luas. Ketika SJW merasa bahwa hanya mereka yang memiliki pemahaman yang benar, terjadi apa yang dapat disebut sebagai elitisme ideologis. Contohnya, penolakan untuk berdialog dengan individu yang memiliki pandangan berbeda sering kali menimbulkan ketegangan alih-alih menciptakan jembatan pengertian.

Kedua, kita bisa mengamati kesombongan emosional yang muncul ketika SJW meyakini bahwa perasaan mereka adalah satu-satunya hal yang dianggap valid. Dalam banyak kasus, pengabaian terhadap berbagai perspektif yang mungkin menyertai sebuah isu social dapat memunculkan narasi yang menyimpang. Misalnya, dalam perdebatan tentang hak asasi manusia, beberapa SJW mungkin berkeyakinan bahwa pengalaman subyektif mereka patut dijadikan acuan tunggal, sementara suara-suara lain yang mungkin kurang terdengar diabaikan. Ini merugikan karena menghalangi munculnya solusi yang lebih inklusif dan efektif.

Sikap tidak membumi juga dapat tampak dari bagaimana SJW berinteraksi dengan dunia nyata. Sejumlah SJW kadang-kadang terjebak dalam ruang diskusi yang terlalu virtual, di mana mereka saling menguatkan dengan citra idealisme tanpa benar-benar memahami realitas yang dihadapi oleh masyarakat lapisan bawah. Misalnya, upaya untuk mengadvokasi kebijakan tertentu tanpa pertimbangan terhadap dampaknya bagi masyarakat kecil sering kali tidak berjalan efektif. Pemisahan antara teori dan praktik menjadi penghalang dalam menciptakan perubahan yang nyata.

Satu contoh nyata dari ketidakmampuan membumi ini adalah dalam kehidupan sehari-hari. Ketika SJW berbicara soal isu-isu buruh, mereka sering kali tidak menyadari bagaimana interaksi ekonomi yang kompleks bisa memengaruhi kehidupan pekerja. Sering kali, solusi yang diusulkan, meski dengan niat baik, malah bisa berujung fatal bagi mereka yang seharusnya dibela. Oleh karena itu, sebuah pendekatan yang lebih empatik dan realistis dalam advokasi diperlukan agar masalah yang dihadapi tidak tereduksi menjadi sekadar hashtag atau slogan di sosial media.

Ketiadaan kesadaran konteks sosial adalah faktor kunci lain yang memperdalam permasalahan ini. SJW sering kali bersuara keras tanpa mengetahui atau mempertimbangkan kondisi lingkungan sosial dan budaya di mana mereka berbicara. Ketika intervensi yang dilontarkan tidak memperhitungkan nilai dan tradisi setempat, ada potensi untuk menimbulkan backlash. Fenomena ini bisa dilihat dalam banyak gerakan, di mana SJW berusaha menerapkan solusi ‘satu ukuran cocok untuk semua’ tanpa memahami seluk-beluk komunitas yang berbeda.

Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua SJW menunjukkan sikap-sikap ini. Di antara mereka yang berusaha untuk membawa perubahan, terdapat individu-individu yang memahami pentingnya dialog dan kolaborasi. Para aktivis ini berusaha menyambungkan teori dengan praktik, dan menghadirkan solusi yang tidak hanya ambisius tetapi juga pragmatis. Melalui pelibatan masyarakat, mereka membawa suara-suara yang sering terabaikan ke dalam diskursif yang lebih luas, serta menciptakan gerakan sosial yang lebih inklusif.

Untuk menciptakan kolaborasi ini, dibutuhkan keberanian untuk menghadapi kritikan dan beradaptasi dengan pandangan baru. Mengadakan forum di mana berbagai pandangan dapat disampaikan dan didiskusikan merupakan langkah awal yang dapat diambil. Melalui penciptaan ruang bagi dialog fasilitatif, diharapkan kesombongan yang bersifat eksklusif dapat berdampingan dengan kecerdasan kolektif yang lebih inklusif.

Akhirnya, memperbaiki kesombongan dan kebijakan yang tidak membumi dalam perilaku SJW adalah tantangan bagi kita semua. Hal ini membutuhkan perjuangan dari para aktivis dan masyarakat secara keseluruhan. Ketika pemahaman dan empati tercipta, kita dapat bergerak menuju perubahan nyata yang tidak hanya berfokus pada penyelesaian masalah di tingkat permukaan, tetapi juga menjelajahi akar dari isu-isu yang ada. Pekerjaan ini mungkin sulit, tetapi demi masa depan yang lebih adil dan setara, usaha ini sangat berharga.

Related Post

Leave a Comment