
Pandemi Covid-19 yang berdampak pada semua aspek kehidupan manusia, seperti ekonomi, politik, pendidikan, agama dan sebagainya, belum berakhir. Covid-19 adalah salah satu wabah yang mematikan. Jutaan nyawa manusia telah melayang pergi. Selain itu, umat manusia pada umumnya kehilangan harapan dan pekerjaan.
Berhadapan dengan pandemi tersebut, manusia mempertanyakan eksistensi dirinya. Bahkan, eksistensi Tuhan pun dipertanyakan oleh umat manusia sebagai homo religious. Dengan demikian, pertanyaan eksistensial Teodice tentang eksistensi Tuhan sangat relevan untuk menyingkap eksistensi manusia sendiri. Apakah Tuhan itu masih ada? Atau, apakah Tuhan itu sungguh ada? Kalau memang ada, mengapa Dia membiarkan malapetaka terhadap umat-Nya?
Paradoks Iman dan Akal Budi
Iman dan akal budi adalah dua hal yang berbeda. Iman berhubungan dengan keyakinan atau intuisi seseorang terhadap sesuatu yang abstrak, sedangkan akal budi berhubungan dengan kekuatan akal atau daya pikir manusia untuk berpikir secara rasional.
Akal budi manusia sama sekali tidak bisa membuktikan adanya Tuhan secara rasional. Pengetahuan rasional merupakan sintesis antara pengalaman indrawi dan kategori apriori akal budi. Kategori apriori tanpa pengalaman indrawi bersifat kosong, dan pengalaman indrawi tanpa kategori apriori bersifat buta.
Kebenaran paling mendasar tentang adanya dan hakikat Tuhan hanya diterima melalui iman akan wahyu Tuhan. Kebenaran itu tidak hanya dapat dicapai dengan akal budi. Tuhan tidak dapat diverifikasi secara empiris. Tuhan bukanlah realitas objektif yang bisa dikenal lewat akal budi.
Pembuktian rasional tentang adanya Tuhan sama sekali tidak perlu karena adanya Tuhan bersifat eviden bagi akal budi manusia. Dengan demikian, kita beriman dengan tanpa melihat atau tanpa bukti. Hal ini merupakan salah satu cara untuk beriman.
Nikholas Malebranche, seorang filsuf dari Mazhab Rasionalisme dan juga teolog Kristen dari Prancis (1638-1715), berkeyakinan bahwa Tuhan adalah cahaya, sumber satu-satunya bagi pengetahuan manusia. Tuhan adalah sebab satu-satunya dari segala yang ada. Dia adalah “motor primus” bagi tindakan manusia.
Inilah yang membedakan manusia dengan Tuhan. Manusia memiliki potensia untuk bertindak, sedangkan Tuhan tidak mempunyai potensia. Tuhan adalah mahasempurna. Dengan demikian, Tuhan dapat disebut sebagai “actus purus” karena tanpa ada intervensi potensia. Dengan demikian, Tuhan dapat pula disebut sebagai “actus primus” karena adanya tidak digerakkan oleh sesuatu yang lain.
Tuhan adalah “causa prima” yang tidak bergantung pada sesuatu yang lain. Ia mempunyai dasar dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk hidup yang selalu terarah kepada yang Maha Kuasa. Filsuf eksistensial, Kierkegaard, menyebut manusia sebagai makhluk yang selalu terarah kepada Tuhan.
Manusia: Subjek yang Terbatas
Eksistensi subjek seseorang terkondisi oleh situasi. Subjek selalu berada dalam situasi dan ia tidak bisa menghindar dari situasi. Boleh jadi kita terjebak dalam situasi yang tidak kita kehendaki. Kita tenggelam di dalamnya, dan kita terkadang merasa kehilangan diri. Tapi juga, di saat tertentu, kita menemukan diri kita lagi lewat situasi itu.
Situasi mengajarkan kita tentang siapa kita sesungguhnya. Situasi adalah guru bagi jati diri kita. Situasi mengajarkan kita tentang konsistensi akan panggilan dan pilihan.
Melalui situasi, kita tenggelam di dalam realitas dunia ini. Namun, kita tidak dapat memahami semuanya. Kita harus mengerti diri kita secara historis tetapi juga futuristik. Kita harus memikirkan masa lampau dan memikirkan masa depan (ke mana kita pergi). Ketika saya memikirkan eksistensi saya secara mendalam.
Oleh karena itu, eksistensi kita adalah eksistensi terkondisikan. Kita berada dalam situasi terbatas yang tidak terbatas. Misalnya, kita berada dalam situasi yang menderita. Kita yang terbatas mengenal Tuhan dalam keterbatasan-keterbatasan kita. Akan tetapi, kita sampai kepada Tuhan melalui keterbatasan-keterbatasan tersebut.
Manusia adalah makhluk terbatas. Akal budi manusia tidak bisa menjangkau segala fenomena yang ada di bumi. Pengetahuan manusia merupakan pengetahuan yang terbatas.
Segala persoalan hidup tidak bisa dipecahkan lewat peran akal budi. Keterbatasan daya akal tersebut membawa manusia pada keyakinan akan adanya Tuhan sebagai yang tak terbatas. Dengan demikian, pandemi Covid-19 yang belum berakhir membawa manusia pada pengenalan akan eksistensi dirinya.
Socrates, seorang filsuf terbesar dalam sejarah dunia, terkenal dengan adagium filosofisnya, yaitu gnoti seauton: kenalilah dirimu sendiri, karena hidup yang tidak direfleksikan tidak layak dihidupi. Ungkapan filosofis Socrates tersebut mengajak kita untuk senantiasa mengenal dan merefleksikan hidup dan karya kita. Oleh karena itu, pandemi Covid-19 yang mematikan tersebut membawa kita pada suatu spektrum pemikiran bahwa kita adalah makhluk terbatas yang tidak terbatas.
- Demokrasi dan Tanggung Jawab Berpikir - 1 April 2022
- Diskursus Nalar Politik - 26 Januari 2022
- Covid-19: Penyingkapan atas Eksistensi Manusia - 25 Juli 2021