“Besok saya lakukan lagi,” Dargombes memberi harapan lagi kepadanya.
“Cukup!” Peterson menendang perangkat ritual hingga berantakan.
“Saya mohon bersabar, Tuan!” pinta dargombes.
“Ayo, ikut aku!” perintah Peterson itu seketika membuyarkan acara ritual pengusiran wabah tersebut.
Mobil Alfa Romeo besutan tahun 1939 itu meraungkan mesin bobroknya lagi. Bisingnya makin membuat lari penduduk yang ikut serta ritual tadi. Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi.
Saat melewati palang kereta api, mobil sedikit menurunkan kecepatannya. Berbarengan itu, muncul dari tikungan iring-iringan pembawa jenazah. Wabah cacar dan malaria berbarengan.
Desa yang sebagian disulap menjadi perkebunan itu terasa mencekam. Setiap hari kematian bertambah. Para Kompeni yang membawa penduduk Eropa untuk mengurusi perkebunan juga tak lepas dari keganasan wabah ini.
“Tuan, kenapa tidak diberi vaksin saja warga desa kami?” pinta Dargombes sambil membuang muka ke jendela mobil yang sudah tak bersih lagi, dipenuhi debu jalanan. Tampak olehnya bayang-bayang tak jelas di luar sana yang mengerikan.
“Kau punya Dewa!” jawab Peterson ketus dan sembari mendekap topi bundarnya di dada. Diserang rasa penasaran yang dalam tentang Tuhan mereka yang tak mampu menghalau wabah-wabah ganas.
Perhatian pemerintahan kolonial hanya fokus kepada pendatang Eropa tersebut. Sedang pribumi hanya disuruh meningkatkan ritual-ritual mistis pengusir wabah.
Wabah cacar terjadi di seluruh Jawa akibat perubahan lingkungan yang drastic. Perubahan lingkungan ekologis karena perluasan industri perkebunan di wilayah pedesaan. Dan juga munculnya permukiman-permukiman kumuh di perkotaan.
Namun, pemerintah kolonial tidak mampu memberantas wabah hanya dengan memperhatikan penduduk Eropa saja. Karena itu, pemerintah kolonial melakukan pemberantasan dengan memerintahkan penduduk jajahan untuk meminta pertolongan kepada Tuhan mereka masing-masing. Pertimbangan murah biaya dan juga bersifat massal, karena hampir semua ber-Tuhan. Hingga tak perlu imunisasi ataupun vaksin untuk pribumi.
Selang dua jam, mobil berhenti lagi sambil memberi letupan keras dari mesinnya yang tak sempurna pembakarannya. Letupan yang menyalak mengalahkan bunyi tembakan pistol ke udara.
Beberapa penduduk berlarian masuk ke rumah mereka. Peterson dan Dargombes turun dari mobil dan menuju ke sebuah rumah. Tampak asap memenuhi ruang tamu. Rumah sederhana beratap rumbia dan berlantai tanah itu suasananya begitu suram. Cahaya matahari terhalang menerobos ke dalam ruangan.
Era kolonialisme sudah membuat penghidupan sengsara. Apalagi terjadi serangan wabah ganas ini. Penduduk makin sekarat!
Di atas dipan ruang tamu tersebut, terbaringlah anak kecil yang menggigil demam tinggi. Sudah seminggu terbaring dan tersengal napasnya. Berupa ruam dengan luka lepuh atau bisul kecil pada kulit menyerupai bintik selebar 5-10 mm dan berisi cairan. Kisaran ada 500 lepuh kecil yang meletus di seluruh tubuhnya. Bahkan tampak beberapa ada di dalam mulutnya.
Lelaki berbaju hitam-hitam itu terus mengipasi arang. Asap makin pekat beriring bau menyengat. Mulutnya komat-kamit. Membaca mantra sakti yang terpadu dengan remasan bumbu berbau menyengat seperti bawang putih. Dikiranya bawang putih dapat membunuh nyamuk malaria.
Berkali-kali sudah mantra itu dibaca. Berkali-kali pula dupa dibakar. Tidak hanya di rumah itu. Kemarin juga sama, berlangsung di rumah Martono, Sumiati, Paijo, dan di rumah Dirjo.
Hampir seluruh isi kampung penuh asap dan komat-kamit mantra si Dukun. Senapan dan mesiu tak mampu usir wabah ini. Bagi kompeni, jelas ini merugikan. Hasil kebun tanam paksa menurun. Tenaga kerja banyak yang meninggal. Pemasukan berkurang.
- Kreol dan Pijin; Arbitrer yang Terpinggirkan - 7 Oktober 2021
- Bergaduh di Balairung Raja - 6 Oktober 2021
- Intuisionisme Filantropis Pemaksimal Utilitas - 4 Oktober 2021