Seminggu sudah Peterson mondar-mandir dari desa ke desa yang ada perkebunan miliknya.
Sedang di rumah bundanya, Jansen, adik Peterson sedang berkumpul dengan beberapa orang Belanda lainnya. Ruang tengah itu tampak asri. Bercat putih bersih. Beberapa peralatan gamelan tertata rapi di sudut ruangan.
“Tidak ada Tuhan dan Dewa!” tegas Jansen memecah kesenyapan.
“Jadi ini rencanamu, Jan?” tanya Peterson kepada adiknya yang baru lulus dari Universistas Leiden itu.
“Benar!” jawab Jansen mantap.
Ujung jari Jansen menunjuk lembaran-lembaran yang penuh dengan peta-peta dan gambaran teknik lainnya. Entah apa rencana Jansen dengan gambar yang ia tunjuk dengan jarinya itu.
“Sudah yakin dengan rencanamu, Jan?” tanya Peterson
“Yakin!”
“Besok ajak si Dargombes untuk penyuluhan ke penduduk.”
“Baik.”
Kita ini masih ada darah pribumi mengalir di tubuh walaupun tak punya Tuhan dan Dewa seperti mereka.
Suasana mendadak khidmat. Dari pertemuann inilah yang membuat Peterson tidak akan pernah melupakan kepentingan kalangan berpenghasilan rendah. Sesuatu yang jarang orang-orang Belanda temui pada masa itu.
Jansen, adik Peterson juga bergabung dalam Instituut de Java, sebuah perkumpulan yang peduli terhadap budaya Jawa. Darah pribuminya begitu deras mengalirkan pada tubuhnya.
“Untuk menara airnya?”
“Segi enam belas!”
Keesokan harinya, Jansen bersama rekan mengumpulkan warga yang terserang wabah. Mereka mengajak Dargombes sebagai penggenap tim. Di pagi yang cerah itu, Jansen mulai berpidato di tanah lapang yang sudah mereka persiapkan.
“Saudara-saudara!”
Suasana sedikit gaduh. Penduduk setempat masih memegang kuat takhayul-takhayul penyebab kematian. Peterson dan Dargombes maju ke depan menenangkan mereka.
“Kita dengarkan dulu penjelasannya.” Dengan sabar Jansen kembali memberikan penyuluhan.
- Kreol dan Pijin; Arbitrer yang Terpinggirkan - 7 Oktober 2021
- Bergaduh di Balairung Raja - 6 Oktober 2021
- Intuisionisme Filantropis Pemaksimal Utilitas - 4 Oktober 2021