Dargombes dan Tai Lancung Tuhannya

“Saudaraku, kalian terserang wabah cacar air dan malaria! Bukan akibat ulah makhluk halus yang datang dari laut! Nyamuklah yang membawa biang tersebut. Hingga anak-anak saudara meninggal, istri-istri saudara sakit, dan kerabat lainnya sekarat!”

Tanpa terduga, lelaki berbaju hitam-hitam maju ke depan. Mengacungkan parang tinggi-tinggi. Sumanto, lelaki yang kemarin berusaha mengobati anak kecil yang terkena cacar air dan malaria itu.

“Belanda laknat!” umpatnya keras-keras.

“Tenang, Kang!” Dargombes berusaha mendinginkan hari lelaki itu.

“Ah, kau penjilat si Meneer itu!”

Suasana kacau. Kerumunan terbagi dua. Sebagian membela Kompeni yang berusaha mengobati penyakit mereka. Sebagian lagi bergeser berpihak ke Sumanto. Provokator-provokator berkeliaran memanaskan suasana. Kesempatan untuk mencari keuntungan masing-masing.

Api dendam kolonialisme beradu dengan jiwa tulus peranakan yang ingin membalas budi dengan ilmunya. Ada darah pribumi di tubuhnya. Seperti mereka yang sekarang sedang sekarat, yang sedang meninggal, dan yang berkumpul itu.

Peterson meletuskan pistolnya ke angkasa. Sumanto menjadi ciut. Suasana agak tenang kembali. Jansen maju dengan sabar meneruskan penyuluhan.

“Saya akan mendesak pemerintahan kolonial untuk mengatasi masalah ini.”

Kemudian majulah Dargombes membawa peta yang kemarin Peterson dan Jansen pelajari. Dibentangkan dengan kedua tangannya.

Jansen mulai menerangkan rancang bangun menara air yang sehat yang sudah matang didiskusikan kemarin. Penduduk pelan-pelan tergiring untuk mengerti tentang wabah ini.

“Nanti akan kami datangkan ikan-ikan cethul,” jelas Jansen.

Ikan cethul itu dulu bukan asli Indonesia. Ikan cethul itu dari luar negeri. Wabah malaria, di mana nyamuk-nyamuk itu bertelur di sawah-sawah yang banyak tergenang air, disebari ikan-ikan cethul yang bisa makan jentik nyamuk malaria.

Penjelasan Jansen yang terpadu dengan pragmatis dan eksplanatif kearifan lokal telah menampar Sumanto yang selama ini berpandangan negatif terhadap Jansen. Ternyata, kompeni itu masih dan sangat menghormati kearifan lokal. Akhirnya penduduk makin bersimpati dengan program-program pemberantasan cacar air dan malaria.

Jansen membangun menara air sebagai sarana perbaikan kebutuhan air bersih pendukung pemberantasan wabah cacar air dan malaria. Mereka merayakan keberhasilan mereka dalam sebuah pesta desa.

Tampak Sumanto duduk di kursi kehormatan. Jansen sengaja mengundangnya sebagai perwakilan paguyuban kearifan lokal, ikatan para dukun.

“Dargombes, bacakan lagi mantra-mantra itu!” pinta Peterson.

“Untuk apa, Tuan?” tanya Dargombes

“Agar penduduk tetap dalam lindungan Tuhan!” jawab Peterson tegas.

“Kini kalian sudah punya Tuhan dan dewa sekarang!” tambah Jansen.

Mantra bergemuruh di penjuru acara. Gamelan mistis dari paguyuban yang pimpinan Sumanto mengikuti pembacaannya. Suasana sakral begitu khusyuk. Bersamaan dengan berakhirnya mantra, tumpeng lengkap dengan lauk-pauk keluar sebagai perjamuan.