
Di penghujung 2017, tulisan ini muncul melihat kondisi alam kian terpuruk. Rasa sisi kemanusiaan pun tak luput dari panggilan jiwa untuk berperan aktif dalam derita yang masyarakat Aceh Singkil rasakan.
Ujian demi ujian pun melanda di daerah yang sangat tercinta ini. Jutaan individu intelektual yang terlahir di kota ini kian banyak berhijrah di berbagai kota nusantara dan internasional.
Bagaimana tidak, untuk memperoleh pendidikan, mereka acap kali harus berhijrah lantaran fasilitas dan infrastruktur di kota jauh lebih baik. Ada yang ke kota Banda Aceh, ada yang ke kota Medan, dan ada juga yang ke Jakarta, Yogyakarta, dan Malang.
Pemberitaan sejumlah media di Indonesia begitu masif seputar informasi kejadian banjir bandang di Kecamatan Suro, Kabupaten Aceh Singkil ini. Hampir setiap tahun masyarakat merasakan keprihatinan. Pemerintah provinsi dan daerah pun sangat sigap, bersama BPBD, dalam mengevakuasi korban banjir.
Sebab, pokok permasalahan memang tidak bisa kita mungkiri dari alam aktivitas manusia dengan sifat keserakahan dan tamak untuk terus-menerus mengekploitasi hutan. Itu mengakibatkan Aceh Singkil tidak bisa keluar dari zona nyaman, seperti yang kabupaten-kabupaten lainnya rasakan.
Daerah aliran sungai dari alas dan Pak-Pak Bharat menumpahkan airnya ke daerah Aceh Singkil, sehingga keadaan terpuruk dari stabilitas pendidikan, ekonomi, dan politik.
Sebagai aktivis dan pemerhati Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, segera merealisasikan program drainase tanggul air untuk mengatasi banjir agar masyarakat merasakan kebermanfaatan, bukan hanya sekadar mengecek lokasi saja tanpa ada langkah taktis dalam penanggulanggannya. Jika keadaan ini tidak kita percepat, akan banyak terjadi kelumpuhan dari segala sektor sosial lainnya.
100 hari kerja pemerintah harus mendorong, memberikan perhatian kepada kaum-kaum muda saintis teknik dan teknologi, khusus Aceh Singkil. Upaya ini untuk membantu pemerintah, mengirim mereka ke bidang teknik geologi, teknik lingkungan, dan sipil dalam rangka mengatasi banjir, baik menyekolahkan di dalam negeri ataupun luar negeri. Kemudian manfaatkan mereka untuk membangun negeri sekata sepakat.
Baca juga:
- Manajemen Kesiapsiagaan Menghadapi Potensi Bencana
- Soal Karhutla; Moeldoko Berpaham Determinasi Ilahi atau Korban Homo Orbaicus?
Kawan-kawan Teknik dan Saintis Aceh Singkil, lihatlah kampung halamanmu. Mereka butuh kalian. Mereka butuh bantuan kalian. Apakah kalian tidak punya rasa kemanusiaan? Apakah kawan-kawan semua hanya belajar fisika, kimia, matematika, hanya untuk memperkaya diri di kota orang? Gagasan ide kalian sangat kita butuhkan.
Kawan-kawan saintis, semoga kalian sadar dan tidak hanya senang-senang di kota orang, melainkan bermanfaatlah untuk negerimu.
Dari kejadian ini, kita dapat belajar bagaimana kota Belanda—negeri dengan daratan rendah—mampu mengatasi banjir dengan sistem polder untuk menghadang banjir dan mengontrol air. Sebenarnya sistem ini sudah ada sejak abad 11, namun digunakan setelah banjir menghantam negeri mereka.
*Iman Agustianda, Aktivis Saintis; Mahasiswa Kota Malang
- Sang Muslim Ateis: Perjalanan dari Religi ke Akal Budi - 28 Februari 2023
- Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar - 23 Februari 2023
- Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal - 22 Februari 2023