
Nalar Warga – Percaya atau tidak, suka atau tidak, kita adalah bangsa pendendam. Culas bahkan. Kita sering berungkap bangga dan lalu merasa menang justru pada saat lawan telah meminta maaf.
Lebih dari itu, seperti tak pernah merasa puas, tamak sikap kita pun masih ingin untuk meminta lebih. Kita mengapitalisasi permintaan maafnya sebagai bukti untuk memberatkan. Culas.
Kisah Ahok pernah bicara itu. Bukan hanya Ahok, dia hanya satu dari banyak korban keculasan kita bersama. Kebesaran hatinya pada suatu saat dulu untuk berani minta maaf justru membawanya pada bencana.
Itu bukan mitos. Dalam skala tertentu, itu bukti sejarah. Itu tercatat dalam lembar pengadilan negara ini dan bahkan dapat menjadi yurisprudensi. Menjadi rujukan hukum.
Pada kejadian fisik, seorang terduga maling yang karena ancaman akan digebuki bila tak mau jujur dan kemudian terpaksa harus mengaku, sesungguhnya, pengakuannya itulah bencana dalam arti yang sebenarnya.
Pengakuannya itu telah memberi alasan sah bagi terjadinya pengadilan massa. Dan terduga maling itu pun pada akhirnya benar-benar mati karena digebuki massa hanya karena mulutnya mengiyakan apa yang diinginkan oleh orang banyak.
“Benarkah rakyat bangsa ini telah menjadi seperti itu?”
Bukan cuma rakyat, paradigma berpikir yang hampir mirip juga melanda dan hinggap pada isi kepala banyak para petingginya.
Baca juga:
Menjadi bencana adalah ketika paradigma seperti itu justru menetap di benak banyak para penegak hukumnya. Itu kacau dan sekaligus memprihatinkan.
Meski tak sama persis, kejadian seperti itulah apa yang kini menimpa Bharada Richard Eliezer.
Bila saja dahulu mulutnya tak bersuara seperti kemauan publik, dia tidak mengaku dan lalu bersedia untuk menjadi bagian dari konsep justice collaborator, bisa jadi dia justru selamat.
Bukan mustahil bila peran sesuai maksud sang komandan itu benar tekun dia jalani, itu justru akan membimbingnya pada sisi jalan yang “benar” dan memberinya gelar pahlawan pada akhir cerita.
Bila kelak karier sang Komandan ternyata bisa mencapai jabatan Kapolri seperti kata banyak pengamat tentang sosoknya, bisa jadi Richard Eliezer pun akan mencapai kedudukan mustahil bagi seorang yang hanya berpangkat Bharada.
Namun, suara hatinya, sisi lembut dan tipis batas konsep makhluk bermoral dalam dirinya berontak. Dan ketika dia pun bersuara pantasnya seorang manusia, dia justru terpuruk.
Dia “salah” telah berpersepsi bahwa pada sebagian dari dirinya adalah “manusia bebas”.
Dia lupa bahwa pangkat yang melekat di kanan dan kiri lengan atau pundaknya adalah terendah sebagai maksud “tak boleh” punya kehendak namun menerima kehendak.
Dia lupa bahwa dengan pangkat terendah yang dia miliki, di hadapan komandan, suara yang boleh keluar dari mulutnya seolah memang sudah diprogram. Suara itu konon akan selalu terdengar sama dan hanya berbunyi, “siap komandan”.
Halaman selanjutnya >>>
- Mungkinkah Gerindra Akan Menggeser Posisi PDIP? - 29 September 2023
- Murid Budiman - 1 September 2023
- Budiman Sudjatmiko, Dia Pasti Adalah Siapa-Siapa - 30 Agustus 2023