Dekonstruksi Nalar Islam Muhammad Arkoun

Menurut Arkoun, untuk melihat apa yang Nabi Muhammad inginkan, kita harus melihat dari kacamata antropologi. Hal itu tidak hanya kepada Muhammad saja, tetapi berlaku bagi nabi-nabi yang lain. Dengan demikian, pengetahuan kita akan bertambah tentang pengalaman ketuhanan manusia.

Di samping itu, hadis yang menjadi landasan hukum kedua dari Islam, menurut Arkoun, sulit kita interpretasi dengan baik. Karena yang terjadi adalah ortodoksi Islam dalam melakukan interpretasi terhadap Alquran. Ortodoksi adalah sebuah ideologi seperti ungkapan la hukma illa Allah (Muhammad Arkoun, 1994)

Mengenai wanita, Arkoun berpendapat bahwa wanita telah menjadi objek strategi dari laki-laki, yang memainkan kontrol dalam hubungan keluarga. Hal itu jika ia pandang secara biologi. Namun kemudian kode moral tersebut bisa kita katakan secara etis dan religius. Ini jelas menjadi prematur untuk kita gabungkan dalam debat tentang ayat-ayat Alquran bahwa perkataan poligami dan berkuasanya laki-laki atas perempuan.

Semua ayat telah menjadi objek hukum yang hakim dan ahli tafsir bawa, yaitu pemegang sekolah tafsir yang orang sebut al-Aimmah Mujtahidun seperti Imam Syafi’i dan Ja’far Shadiq. Berapa banyak wanita yang telah menjadi master dalam segala bidang. Arkoun menyarankan agar ada emansipasi dalam perempuan agar tidak terjadi dominasi dari laki-laki.

Sedangkan masalah kesufian seperti yang Hasan Basri, al-Junaidi, al-Bustami, dan Ibn ‘Arabi lakukan, menurut Arkoun, harus kita lihat dari aspek psiko-fisiological sebagai faith; kepercayaan. Tingkatan tertinggi tersebut bisa kita temukan dalam diri Nabi dan seniman-seniman besar.

Tampak pengaruh dari teori post-strukturalis Saussurian dalam tulisan Arkoun. Beliau menjelaskan bahwa firman Tuhan itu adalah Umm al-Kitab. Ia diwahyukan kepada Nabi dalam sejarah dunia.

Mengenai “Akal Islam”, Arkoun mengutip al- Ghazali, yaitu: jika seseorang itu menetapkan dengan taklid saja, maka ia termasuk orang yang bodoh. Dan orang yang merasa cukup dengan akalnya saja dari cahaya Alquran dan Sunah, maka ia tertipu.

Menurut Arkoun, bahwa dalam nama-nama Quran itu sudah terkandung secara hakikat di dalam zaman azali. Oleh karena itu, “Akal Islam” berputar-putar untuk mengetahui kandungan makna tersebut (Muhammad Arkoun, 1998:65).

Kemudian Arkoun membagi “Akal Islam” dalam tiga bagian. Akal Islam itu antara lain: Akal Islam Klasik (di sini meliputi: Risalah Syafi’i, bahasa, hakikat dan aturan/qanun, hakikat dan sejarah, dan teologi), Akal Islam Ortodoks dan Akal Islam Modern. Dengan adanya pembagian akal Islam ini, diharapkan umat muslim bisa mendayagunakan akalnya sesuai proporsinya masing-masing. Menghilangkan dikotomi mengenai ilmu pengetahuan yang berbau Timur  Islam maupun yang berbau Barat.

Dengan adanya penataan ulang kembali mengenai pemahaman umat Islam terhadap ajarannya, ada harapan umat Islam menemukan momentumnya untuk bangkit dari kegelapan yang selama ini menjadi bayang-bayang mereka. Tidak selamanya kita harus bersifat taqlid terhadap ajaran yang selama ini kita yakini. Kadang kita juga harus bersifat kritis atas apa yang kita pahami selama ini.

Baca juga:
Raha Bistara