
Keberhasilan mahasiswa dalam merebut kebebasan bersuara, berekspresi, dan bahkan persaingan yang sehat pun telah direbut dalam garis sejarah. Namun apakah kita masih menikmati hasil yang telah diperjuangkan?
Kata “demokrasi” dalam pangkuan para tuan hanya sebagai senjata masyarakat untuk sesekali melakukan perlawanan. Sejarah pergerakan mahasiswa, jika diamati dari sudut kota yang agak kumuh, tentunya kelihatan agak memudar dari satu dekade terakhir ini.
Jika kita lebih sedikit bergeser ke tengah kota untuk mengamati, kata perjuangan terus dimuntahkan dari berbagai sudut dan mulut para pengguna jalan. Manusialah sebagai peletak batu pertama dalam melakukan perubahan maupun merebut kemerdekaan dalam bentuk apa pun. Maka sudah seharusnya demokrasi adalah urusan bersama seluruh umat manusia.
Instansi pendidikan menjembatani ketidaktahuan menjadi satu langkah lebih maju dan mengaktifkan peran otak berpikir kita dengan besar harapan: sewaktu-waktu bisa menghasilkan satu idea baru di dalamnya. Makin berganti hari, perjalanan demokrasi yang hidup di lingkungan kampus makin minim perhatian dari mahasiswa dan dosen-dosen sehingga praktik kejahatan kecil-kecilan mereka bisikkan di telinga mahasiswa. Demokrasi sudah semacam “cemilan” yang menemani duduk-duduk santai mereka di kursi goyang.
Keterhimpitan kata demokrasi tidak lagi demokratis; keharmonisan demokrasi tidak lagi harmonis dan tidak lagi menyentuh hati setiap mahasiswa karena ditenggelamkan oleh tuan yang berkuasa. Sangat disayangkan karena notifikasinya adalah yang mengajarkan etika berdemokrasilah yang mengaburkan makna demokrasi itu sendiri.
Kehadiran Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di tengah-tengah perdebatan mahasiswa pun tidak mendapatkan satu titik temu yang positif untuk mengadakan inovasi demokrasi yang sehat.
Tumpukan masalah yang dihasilkan oleh birokrasi mengisyaratkan bahwa sampai hari ini pun demokrasi tidak sepenuhnya diamini oleh mahasiswa zaman sekarang. Ataukah ini semacam kesengajaan agar mahasiswa yang lebih kritis, nampak di permukaan?
Kalau maksudnya seperti itu, kenapa tidak disediakan semacam wadah yang mudah diakses, agar semua mahasiswa ikut beradu gagasan tentang apa yang dijadikan tema perdebatan. Saya ingin berhipotesa lagi. Ataukah ada yang menginginkan agar demokrasi dihidupkan dengan cara yang lebih ekstrem, misalnya di tahun 1998?
Apakah ini semacam ajang pencarian bakat sehingga harus ada pertunjukan selebrasi ketika mendapatkan kejuaraan? Entahlah!
Baca juga:
- Intelektual yang Konsisten - 27 Januari 2023
- Menghamba pada Ketakutan - 27 Desember 2022
- Demokrasi Bayang-Bayang? - 26 Desember 2022