Demokrasi dan Problem Hospitalitas

Menurut Jacob Oetama, demokrasi mempunyai prinsip pokok, yaitu martabat manusia dan hak-hak asasi yang dihormati dan dilindungi tanpa diskriminasi. Prinsip demokrasi juga mengingatkan apa yang kita sebut dengan hak-hak sipil yang terjamin secara konstitusional.

Di antara hak-hak sipil itu terdapat hak untuk memperjuangkan kebebasan, hak untuk diperlakukan sama  di depan mekanisme hukum, hak atas milik pribadi, hak atas kebebasan beragama dan hak atas kebebasan memilih pekerjaan dan berusaha.[5] Pandangan ini setidaknya menjadi prisma untuk meneropong sejauh mana mayarakat Indonesia menyadari eksistensinya di tengah problem keber-beda-an.

Di dalam kehidupan masyarakat kontemporer, posisi demokrasi tentulah sangat kompleks. Demokrasi sendiri tidak hanya bersentuhan langsung dengan persoalan-persoalan di ruang publik, tetapi juga persoalan-persoalan di ranah privat. Kerap kali dua persoalan yang sangat berbeda ini tidak terdistingsi dengan jelas sehingga melahirkan kebijakan hukum yang tumpang tindih.

Salah satu persoalan yang menyita perhatian publik hari-hari ini adalah dugaan pencucian uang dan KKN terhadap dua anak presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep. Terlepas dari benar tidaknya persoalan ini, hemat penulis, kasus seperti ini karena orang tidak bisa membedakan antara persoalan pribadi dan persoalan publik. Investasi secara besar-besaran yang Kaesang Pangarep lakukan merupakan gambaran (typos) bagi generasi milenial tentang bagaimana caranya berusaha dan berorganisasi dengan baik.

Ironisnya, masalah ini melibatkan seorang akademisi, yakni Ubedilah Badrun, Dosen Universitas Negeri Jakarta. Menurut Hasto Kristiyanto selaku Sekretaris Jenderal DPP PDI-P, tindakan Ubedilah Badrun sangat erat kaitannya dengan political heavy atau kegaduhan politik.[6]

Kendala dalam Berdemokrasi

Masyarakat modern atau masyarakat kontemporer sangat rentan dengan konflik berlatar belakang perbedaan. Term pluralisme[7] bukan hanya merujuk pada masalah konseptual belaka, melainkan menjadi faktum penentuan kebijakan politik.

Realitas masyarakat yang plural justru menggiring Indonesia pada situasi yang sangat paradoksal. Alih-alih membanggakan perbedaan sebagai kekuatan, di satu sisi perbedaan mendatangkan malapetaka.

Di ranah agama, orang berjuang untuk melakukan apa pun untuk membela agamanya. Munculnya kaum fundamentalis agama dengan doktrin komprensifnya yang mengancam kesatuan dan persatuan, gap antara mayoritas dan minoritas, merupakan wajah lain dari kehidupan beragama itu sendiri.

Baca juga:

Di ranah budaya terjadi perbenturan identitas, yaitu identitas tradisional (statis) versus identitas modernitas. Dalam ranah sosial terjadi pemisahan antara kaum miskin dan yang kaya. Antagonisme terjadi karena masing-masing mempertahankan eksklusivitasnya (ke-aku-an)  yang akut.

Di sisi lain, di kalangan elite politik, banyak politisi atau orang yang memangku jabatan penting yang terlibat kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dengan demikian, demokrasi terdistorsi menjadi sarana kekuasaan untuk menyelamatkan orang-orang kuat dan melindungi aktor-aktor politik yang bermasalah.[8] Polemik-polemik yang terjadi di tanah air selama satu dekade terakhir cukup menguji resistensi hukum dalam menjustifikasi persoalan-persoalan yang kompleks.

***

Imunitas demokrasi sebagai sebagai sebuah sistem politik bisa melemah tatkala masalah-masalah di atas “membarui diri” dari waktu ke waktu. Di sisi lain, realitas keberbedaan atau kebinekaan yang adalah DNA bangsa Indonesia  bisa menjadi ancaman bagi demokrasi dan juga  hospitalitas, baik itu secara horizontal maupun vertikal.

Oleh karena itu, perlu adanya kepastian hukum. Kaum intelektual dan elite politik harus bergandengan tangan untuk menata demokrasi yang bermartabat, bukan terjerembab dalam praktik koncoisme yang menguntungkan kelompok tertentu. Dengan demikian, demokrasi adalah rumah bersama sebagai tempat membangun peradaban bukan hanya untuk para penguasa.

Catatan Kaki

[1] Roger Eatwell, “Netralitas Religio-kultural Demokrasi”, dalam F. Budi Hardiman, Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari “Bangsa Setan-Setan,” Radikalisme Agama sampai Post-Sekularisme (Yogyakarta: Kanisius, 2018) hlm. 46.

[2] R. K. Sinclair, “Democracy and participation in Athens” dalam Yosef Keladu koten, Partisipasi Politik: Sebuah Analisis atas Etika Politik Aristoteles (Maumere: Penerbit Ledalero, 2010), hlm. 135.

[3] Bdk. Jurgen Habermas, “Die Einbeziehung des Anderen” dalam Otto Gusti Madung, Politik Diferensiasi Versus Politik Martabat Manusia? (Maumere: Penerbit Ledalero, 2011), hlm. 104.

[4] Ibid.,

[5] Sindhunata dkk., Mengenang Y. B. Mangunwijaya: Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999), hlm. 142.

[6] Galuh Widya Wardani, “Di balik Pelaporan Kasus KKN Anak Presiden, PDIP Tuding Ada Kaitan Ubedilah dengan Parpol Lain”, dalam Tribunnews, diakses pada Jumat, 05 Februari 2022.

[7] Menurut Hannah Arendt (1906-1975), masyarakat modern terdiri dari individu-individu dan setiap individu bersifat khas dan unik. Kekhasan tersebut menjadi elemen dan dasar bangunan pluralisme sosial politis. Dengan demikian, pluralisme lahir dari kodrat manusia sehingga kekhasan itulah yang membedakannya dari pribadi lainnya. Bdk. Otto Gusti Madung, Op. Cit.,hlm. 154.

[8] Silvianus M. Mongko, Demokrasi Minus Diskursus (Maumere: Penerbit Ledalero, 2016), hllm. 96.

Korsinus Budiman
Latest posts by Korsinus Budiman (see all)