
Nalar Politik – Sebuah demokrasi bisa disebut sebagai “demokrasi sonder demokrasi” jika para pelakunya (kaum demokrat) “bertindak karena demokrasi tetapi tidak demokratis”.
Demikian Ramlan Surbakti menegaskan itu melalui artikel opininya di Kompas (30/8) berjudul Kebangsaan, Ketaatan Hukum, dan Demokrasi. Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga ini menggambarkannya berdasar perkembangan demokrasi di Indonesia yang dianggap belum terkonsolidasi.
“Berita Kebangsaan: Demokrasi Indonesia Keliru Arah (Kompas, 27/7) menggambarkan perkembangan demokrasi di Indonesia belum terkonsolidasi. Disebut keliru arah karena yang muncul demokrasi cacat yang ditandai sejumlah pihak memanfaatkan demokrasi demi hal-hal yang mengancam keutuhan bangsa dengan melakukan kekerasan, intoleransi, dan menyebarkan berita bohong (hoaks) yang dapat memecah belah masyarakat,” tulis Ramlan.
Realitas demokrasi tersebut mengingatkan Ramlan pada pendapat Larry Diamond ketika menjawab pertanyaan seorang reporter, apakah demokrasi di Indonesia akan berkelanjutan ataukah kembali ke otoriter.
“Tergantung pada dua faktor, yakni kesatuan nasional (national unity) dan penegakan hukum, khususnya terhadap tindak pidana korupsi (Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free Societies Throughout the World, 2008).”
Konsep Kebangsaan
Dalam konsep yang lebih luas, jelas anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia itu, demokrasi acap kali dikaitkan dengan nasionalisme dan negara hukum (rule of law). Kaitan keduanya tidak tunggal, tetapi dapat bersifat kontemporer (saling memperkuat), bertentangan, dan dapat pula yang satu menjadi kondisi bagi yang lain. Semua ini, menurutnya, tergantung pada konsep nasionalisme yang digunakan.
“Saya cenderung mengikuti yang terakhir, yaitu nasionalisme menjadi unsur pembentuk demokrasi, tetapi konsep nasionalisme yang digunakan dalam arti lebih khusus yang dikenal dengan konsep kebangsaan berdasarkan kewargaan (civic national unity).”
Konsep kebangsaan tersebut, bagi Ramlan, terdiri atas tiga unsur, yaitu kebebasan setiap warga negara, kesetaraan antarwarga negara, dan persaudaraan antarwarga negara.
“Walau mereka berbeda, tak berarti yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Sebagai sesama warga negara, mereka berada dalam kedudukan setara (they are different but they are equal). Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 UUD 1945).”
Berdasarkan prinsip berbeda tapi setara, maka setiap warga negara berkewajiban menghormati hak warga negara lainnya. Intoleransi dan menyebarkan berita bohong, karenanya, merupakan tindakan anti-kebangsaan.
“Sikap dan tindakan kebangsaan dari setiap warga negara merupakan fondasi demokrasi.”
Apabila demokrasi dilihat sebagai mekanisme pembuatan keputusan di DPR dan DPR, misalnya, memakai dua model: musyawarah untuk mencapai mufakat (deliberative democracy) dan pemungutan suara berdasarkan suara terbanyak, seorang demokrat, menurut Ramlan, harus mengutamakan pendapat yang didukung alasan kuat berupa kebaikan bersama semua unsur bangsa dalam model musyawarah untuk mufakat dan menghormati hak kelompok minoritas jika membuat keputusan berdasarkan suara terbanyak.
“Konkretnya, hak dasar manusia atau hak asasi manusia tidak bisa diputuskan berdasarkan suara terbanyak. Karena yang terjadi adalah tirani mayoritas yang berarti tidak demokratis.”
Ketaatan pada Hukum
Ramlan turut menegaskan bahwa kepatuhan hukum juga memiliki ikatan kuat dengan demokrasi. Ini jelas terlihat dalam konsep demokrasi yang harus dijalankan berdasarkan hukum.
“Namun, hukum sendiri harus demokratis, baik proses pembuatannya maupun substansinya.”
Kepatuhan hukum, tegasnya kembali dengan merujuk pandangan Larry Diamond, adalah ketaatan pada UU antikorupsi. Demokrasi dilihat sebagai pemisahan secara jelas ranah publik dari ranah privat.
“Jabatan negara, kekayaan negara, anggaran negara, kendaraan dinas, dan jam dinas merupakan ranah publik sehingga harus digunakan untuk kepentingan publik.”
Apa yang disebut korupsi, lanjut Ramlan, adalah penggunaan milik publik untuk kepentingan pribadi, golongan, dan kelompok.
“Bahkan tindakan korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena menyebabkan hilangnya harta kekayaan negara, menyebabkan rakyat kehilangan hak asasi sosial ekonomi, kemiskinan sebagian masyarakat, dan degradasi martabat kemanusiaan.”
Sialnya, sebagian pelaku korupsi, beber Ramlan, bukan hanya pejabat biasa, melainkan juga para anggota DPR yang dipercaya rakyat membuat UU, termasuk UU tentang Tindak Pidana Korupsi.
“Bagaimana mengharapkan warga negara lainnya mematuhi UU apabila pembuat UU sendiri melanggarnya?”
Hal tersebut membuat Ramlan tegas menyebut bahwa korupsi adalah tindakan antipolitik, yaitu tindakan melawan kebaikan bersama (common good).
“Berdasarkan UUD 1945, negara Indonesia diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat (demokrasi), maka korupsi adalah tindakan antidemokrasi. Pelanggaran terhadap UU antikorupsi atau tindak korupsi merupakan tindakan antidemokrasi.”