Demokrasi, sebuah kata yang Meliuk-Liuk dalam bisikan politik, sering dianggap sebagai puncak peradaban manusia modern. Namun, dalam ekosistem sosial yang diwarnai ketidaktahuan dan ketidakpahaman, konsep ini bisa menjadi bumerang yang menghancurkan. Ibarat menyalakan sebuah kembang api di tengah badai, demokrasi tidak selalu memancarkan cahaya jika dikelilingi oleh kegelapan kebodohan. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah demokrasi dapat bertahan dan berkembang di tengah masyarakat yang tidak paham arti dari proses ini?
Di salah satu sisi, demokrasi menawarkan suara kepada setiap individu. Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua suara memiliki berat yang sama. Ini bukan tentang menghargai hak asasi manusia, melainkan tentang mengakui bahwa tidak semua orang memiliki pengetahuan yang memadai untuk mengambil keputusan yang bijaksana. Ketika suara kebodohan didengar sama kerasnya dengan suara kebijaksanaan, hasilnya bisa menjadi malapetaka.
Bayangkan sebuah paduan suara. Jika setiap penyanyi menyanyikan nada yang berbeda tanpa menyesuaikan harmoninya, hasilnya akan hanyalah kebisingan. Demikian pula, dalam politik, jika suara yang tidak terdidik diberikan dominasi, kita akan terjebak dalam kekacauan yang menghancurkan kredibilitas demokrasi itu sendiri. Dibutuhkan pemahaman yang mendalam untuk mampu menjernihkan suara yang benar dan memadukan nada demi kebaikan bersama.
Tentunya, hal ini mengarah pada kritik terhadap demokrasi itu sendiri. Apakah demokrasi adalah sistem yang benar-benar adil jika ia mengizinkan masyarakat yang tidak teredukasi untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan? Paradoks ini menciptakan dilema: bagaimana memberi suara tanpa memperburuk keadaan? Dalam banyak kasus, masyarakat yang kurang berpendidikan cenderung terjebak dalam ideologi dan narasi yang tidak akurat, yang pada gilirannya mengarah pada keputusan yang salah.
Selanjutnya, mari kita telaah dampak dari ketidakpahaman masyarakat terhadap demokrasi itu sendiri. Gagasan tentang representasi yang benar bisa hancur berantakan jika basis pengetahuan masyarakat berada di titik nadir. Ketika informasi disaring oleh kepentingan tertentu yang memanipulasi opini publik, hasilnya sering kali adalah keputusan yang menyakitkan. Hasil pemilu dapat mencerminkan kepentingan pihak tertentu, bukan aspirasi rakyat banyak.
Ingatlah cerita tentang kuda trojan. Dalam dongeng Yunani kuno, kuda ini masuk ke dalam kota dengan memberikan kesan damai, tetapi pada akhirnya membawa kehancuran. Demikian halnya, masyarakat yang tidak teredukasi bisa menjadi kuda trojan bagi demokrasi; meneriakkan suara untuk kebebasan tetapi di baliknya bersembunyi ketidakpahaman yang merusak. Pada titik ini, kita bertanya: apakah demokrasi sesungguhnya melayani rakyat yang bodoh, atau justru menjadikan mereka alat kekuasaan?
Dalam konteks ini, peran pendidikan menjadi sangat krusial. Pendidikan yang memadai dapat memberikan fondasi yang kuat bagi masyarakat untuk memahami isu-isu politik, hak dan kewajiban mereka, serta dampak dari setiap keputusan yang diambil. Tanpa pendidikan, masyarakat terombang-ambing dalam arus informasi yang menyesatkan dan cenderung percaya kepada apa pun yang terdengar baik. Akibatnya, pengambilan keputusan tidak lagi berdasarkan pada fakta dan logika, tetapi pada emosionalisme yang berlebihan.
Lebih lanjut, kita juga harus mempertimbangkan adanya budaya “populisme” yang sering menghiasi panggung politik. Pemimpin yang populis cenderung memanfaatkan kebodohan rakyat untuk mendongkrak popularitasnya. Mereka berjanji memberikan segalanya, meskipun janji-janji tersebut tidak dapat direalisasikan. Dalam konteks ini, kita melihat bagaimana demokrasi dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, mengorbankan kebaikan bersama demi memperoleh kekuasaan.
Jalan keluar dari situasi ini tidaklah mudah. Namun, langkah pertama yang perlu diambil adalah menciptakan kesadaran di kalangan masyarakat tentang pentingnya pendidikan politik. Masyarakat harus didorong untuk memahami bahwa mereka tidak hanya memiliki hak untuk memilih, tetapi juga tanggung jawab untuk memastikan bahwa pilihan yang mereka buat adalah yang terbaik. Kesadaran kolektif harus dibangun agar setiap individu merasa terlibat dan berkontribusi dalam proses menciptakan negara yang lebih baik.
Pada akhirnya, demokrasi adalah seperti tanaman yang perlu disiram dan dirawat dengan baik agar bisa tumbuh subur. Namun, jika kita memberi pupuk yang salah—yaitu ketidaktahuan dan kebodohan—tanaman tersebut tidak akan mampu bertahan. Demikianlah gambaran mengenai hubungan antara demokrasi dan masyarakat yang terdidik. Dalam mengarungi lautan politik, kita harus memastikan bahwa semua yang berlayar memiliki peta yang jelas dan pengetahuan yang memadai agar tidak tersesat dalam kegelapan. Dengan demikian, demokrasi tidak hanya akan selamat, tetapi juga mampu berkembang dan memberikan manfaat kepada semua.






