Di Atas Kertas Terlarang, di Jalanan Terangsang

Di Atas Kertas Terlarang, di Jalanan Terangsang
©detikNews

Percaya diri modal utamanya. Salah satu peserta konvoi bermotor melintasi jalan dengan bekal kalimat berbunyi: “Sambut Kebangkitan Khilafah Islamiyah”, “Jadilah Pelopor Penegak Khilafah ‘Ala Minhajun Nubuwwah” turut menghiasi di belakang punggungnya.

Para konvoi itu seakan-akan tidak mengenal frasa battle cry, malahan mengarah pada celebration of victory, merayakan kemenangan. Mengapa? Satu alasan, menurut pengakuan, mereka sudah cukup lama melakukan konvoi dengan izin aparat hukum.

Bak anak sekolahan yang baru lulus ujian nasional, mereka berkonvoi motor dengan memamerkan coretan berwarna di seragamnya.

Jika khilafah itu meneror, mengapa masih ditolerir? Mengapa masih dalam pengawasan dari aparat negara terkait, padahal terindikasi dengan pergerakan ideologi politik transnasional?

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang punya gawean untuk mengurusi kelompok atau jaringan yang terindikasi kelompok radikalis, teroris, hingga pergerakan anti demokrasi sudah berbicara. (antaranews, 31/5/2022)

Singkat kata, Khilafatul Muslimin serupa ancaman bahayanya dengan jaringan dan pergerakan yang ingin mendirikan daulah Islamiyah alias ‘negara Islam’, Ide dan hasrat ini begitu gamblang sangat bertolak belakang dengan Indonesia sebagai bangsa dan negara berdasar falsafah, dasar, dan bentuk negara yang sudah final: Pancasila dan NKRI.

BNPT mengembus identifikasi, Densus 88 sedang mengendus “musuh bersama” dalam kebinekaan negeri.

Yang menarik darinya karena merangsang kata-katanya cukup retoris. Lewat pimpinan mereka berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya demi syiar atau ibadah. Bukan karena terlalu mencurigai, melainkan katanya Indonesia bukan negara agama.

Baca juga:

Mengapa mereka masih bermimpi di siang bolong, mengapa mereka percaya dengan “mimpi basah” tentang ideologi “luar” yang mengingkari kenyataan, jika Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa dan negara yang menjunjung tinggi kemajemukan, termasuk agama?

Masyarakat selama ini terlatih dan terdidik dengan perbedaan. Lantas mengapa masih ada pihak yang mencoba mengacaukan dunia tenggang rasa, selaras, dan tatanan hidup damai di negeri ini?

Satu kesempatan, saya pernah berbincang dengan kawan mengenai adanya kelompok atau jaringan ideologi yang anti demokrasi (hanya karena terpicu dengan kondisi carut-marut bangsa dan negara) serta-merta ingin menggantikan dengan ideologi dan bentuk negara lain.

Terhadap kawan, saya mengatakan, sepertinya hanya skenario utopis tatkala ada pihak yang mencoba mendirikan ‘negara Islam’ di Indonesia.

Di kesempatan lain juga, saya pernah dimasukkan oleh admin dalam WhatsApp group (WAG) berhaluan ideologi khilafah. Seratus persen saya tolak, akhirnya seketika itu juga saya keluar dari WAGnya.

Jauh sebelumnya, di homebase kami di sebuah kota besar di bagian Indonesia timur, pernah pula didatangi oleh aktivis pergerakan ideologi khilafah. Di akhir tahun 2017, digelar Konferensi Khilafah Internasional, bertempat di Kualalumpur, Malaysia dengan tema: “Demokrasi Sistem Gagal, Khilafah Solusi Tunggal”. Pesertanya menembus lebih seribuan orang. Ia menghadirkan narasumber lintas negara. (al-waie, 1/1/2018)

Semangat dalam penyelenggaraan forum khilafah sedunia itu tidak bisa dianggap sepeleh dan dipandang sebelah mata. Apresiasi dari peserta lintas negara yang menghadiri konferensi tersebut cukup tinggi.

Meskipun kelompok dan jaringan berbeda, sudah terbukti muncul ‘varian’ khilafah yang terang-terangan menampilkan dirinya. Demi perjuangannya, ia mampu mengatur tempo. Kapan bergerak senyap dan kapan bergerak dengan kepala tegak di selah aktivitas kehidupan umum.

Halaman selanjutnya >>>
Ermansyah R. Hindi