Dialog Sejoli di Atas Ranjang

Dialog Sejoli di Atas Ranjang
EXPECTATIONS by Leonid Afremov

Mata tak segera terlelap jika belum berkisah. Berkisah apa saja, meski tengah di atas ranjang.

Tampak rembulan tersenyum dari jendela yang menganga. Angin memadati ruang kamar yang pengap. Sesekali meraba kaki sampai kuduk bergidik, sebab kaki sedang telanjang. Hanya cawat yang melekat berpasang tangtop.

Rembulan sedang tidak sendiri. Gemintang pun ikut menyaksikan dua sejoli yang asyik berkisah di atas ranjang dengan lebar tak seberapa, namun cukuplah untuk tubuh mungil Tiyem dan Tini. Keduanya telentang sembari menerawang. Sesekali Tiyem mengangkat tangan ke langit-langit, menerawang jemari lalu berkisah.

Tiyem dan Tini memulai kisah begini di atas ranjang:

Tentang Novel yang baru saja dibeli kemarin sore. Seperti biasa, di meja baca mereka, sering menyebutnya tempat persembahan, masing-masing sejoli ini menghabiskan waktu seharian merampungkan itu novel. Berharap dapat dikisahkan kembali sebelum tidur.

“Tin, kau ingat novel yang kita selesaikan tadi?”

“Ya.”

“Bagaimana pendapatmu?”

“Aku mengagumi si Ranta juga si Komandan.”

“Bagaimana dengan si Musa? Kau membenci?”

“Tidak. Ada hal menarik yang aku dapat dari tokoh itu. Sikapnya yang congkak dapat melemah di hadapan sang istri, si Nyonya. Walau dalam keadaan terdesak, orang baru bisa memilih untuk jujur dan tulus meminta maaf dan memaafkan. Tapi, hanya pada yang tersayang. Andai saja seseorang bisa begitu bijak pada musuh sekalipun.”

“Maumu bagaimana, Tin?”

“Ya, seperti tokoh Ranta dan si Komandan. Tegas terhadap musuh, mengalahkannya dengan kebijaksanaan dan ketulusan. Setidaknya, dapatlah mengubah sikap congkak walau hanya kemungkinan.”

“Seperti?”

“Seperti Ranta yang mampu mengarungi hati si Nyonya yang sempat congkak dan berakhir bijaksana. Kau tahu, sikap congkak tak mudah diubah kecuali dengan kerendahan hati dan ketulusan berbuat.”

“Menurutmu itu sebabnya Nyonya yang tadinya bengis dan tampak dendam pada Ranta pada akhirnya memilih untuk ikut andil menjadi bagian dari perubahan, memilih untuk mengajarkan perempuan-perempuan baca-tulis?”

“Tepat. Kau bayangkan jika Ranta bersikap sama sebelumnya. Habis sudah nasib si Nyonya. Begitu pula dengan suaminya, si Musa, sebagai pimpinan DI yang pernah memfitnah dan menghajarnya babak belur. Untung-untung hanya dilaporkan pada OKD. Kau bayangkan lagi seandainya Ranta menyimpan dendam. Mudah saja ia membalas. Terlebih dengan pangkatnya yang sekarang, Lurah. Kau pikirkan sendiri.”

Tapi tidak. Ia tidak berbuat sama. Sebab ada kesejahteraan yang perlu dipikirkan. Tentang masyarakat yang butuh kedamaian setelah musuh besar mereka si Darul Islam kerap memaksa, memperbudak, merampas, menyiksa, membunuh, dan membuat kesulitan lainnya ditangkap.

Ranta coba mengenyampingkan amarah-amarah dan memilih untuk berbuat. Berbuat untuk kemanusiaan. Mereka sudah lelah mengalah, sebab hanya memberi sakit.

Halaman selanjutnya >>>

Uci Susilawati
Latest posts by Uci Susilawati (see all)