Digitalisasi sekolah menjadi topik hangat di kalangan pendidik, pembuat kebijakan, dan orang tua di Indonesia. Di tengah gencarnya upaya memodernisasi sistem pendidikan, muncul pertanyaan penting: apakah digitalisasi benar-benar dapat memperbaiki kualitas pendidikan, atau justru menciptakan cacat dalam relasi sosial di antara siswa? Dalam sebuah dunia yang semakin tergantung pada teknologi, kita dihadapkan pada tantangan untuk memahami bagaimana interaksi antara siswa dapat terpengaruh oleh perubahan ini.
Pada dasarnya, digitalisasi sekolah merujuk pada penerapan teknologi dalam pembelajaran dan pengelolaan pendidikan. Dengan adanya perangkat seperti tablet, laptop, dan aplikasi pembelajaran, diharapkan siswa dapat mengakses informasi dengan lebih cepat dan efisien. Namun, di balik semua kemudahan itu, terdapat risiko yang mengintai, terutama dalam hal hubungan sosial antar siswa. Apakah kehadiran teknologi akan mengurangi interaksi secara langsung? Atau malah meningkatkan komunikasi dalam bentuk yang baru?
Salah satu tantangan utama yang mengemuka adalah potensi ketidakadilan akses. Di Indonesia, meskipun telah ada usaha untuk menyediakan perangkat dan koneksi internet, kenyataannya tidak semua siswa dapat merasakannya. Hal ini menciptakan jurang pemisah antara mereka yang memiliki akses teknologi dan yang tidak, atau yang kita sebut sebagai ‘digital divide’. Akibatnya, akan ada siswa yang merasa terasing dari kelompoknya, memperlebar kesenjangan dalam relasi sosial di dalam kelas.
Lebih jauh, ketergantungan pada teknologi berpotensi memengaruhi kemampuan sosial emosional siswa. Dalam interaksi langsung, siswa belajar mengenali emosi, berempati, dan membangun koneksi yang lebih dalam dengan teman sebayanya. Namun, dengan adanya kelas virtual dan komunikasi melalui media sosial, ada kemungkinan bahwa siswa hanya berfokus pada interaksi digital. Keberadaan emotikon dan pesan singkat tidak selalu dapat menggantikan kehangatan kontak manusia yang nyata.
Dalam konteks ini, kita juga harus mempertimbangkan dampak dari cara belajar yang semakin individual. Sistem pendidikan yang mengintegrasikan teknologi sering kali mendorong siswa untuk belajar secara mandiri. Sekilas, ini terdengar positif karena guru dapat memberikan perhatian lebih kepada siswa yang memerlukan bantuan. Namun, apakah cara belajar ini tidak justru menambah rasa kesepian di kalangan siswa? Tentu saja, kolaborasi dalam belajar tetap penting, tetapi bagaimana cara mengintegrasikannya dalam dunia digital yang semakin mengisolasi?
Selain itu, perlu dicatat bahwa penggunaan teknologi dalam pendidikan sering kali membawa dampak pada cara siswa berkomunikasi. Dalam sebuah studi, ditemukan bahwa siswa yang lebih sering berinteraksi melalui platform digital cenderung kurang terampil dalam berargumentasi secara lisan. Sebagai contoh, mereka merasa lebih nyaman mengekspresikan pendapat melalui pesan teks daripada berbicara langsung di depan kelas. Apakah ini yang kita inginkan: generasi yang mahir dalam mengetik, tetapi kurang terampil dalam berbicara dan berinteraksi?
Penting bagi kita sebagai masyarakat untuk merenungkan bagaimana seharusnya kita mengelola proses digitalisasi ini. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga proses sosial yang membentuk karakter dan keterampilan interpersonal siswa. Sebuah pendekatan yang seimbang diperlukan untuk memastikan bahwa meskipun teknologi memberikan banyak manfaat, relasi sosial tidak terabaikan.
Di sinilah peran aktif orang tua dan pendidik sangat penting. Mereka harus berperan dalam menciptakan lingkungan yang mendukung interaksi sosial. Sekolah dapat menghadirkan kegiatan yang mendorong kolaborasi antara siswa, baik secara fisik maupun dalam ruang digital. Misalnya, proyek kelompok yang mengharuskan siswa untuk bekerja sama dalam merancang solusi menggunakan teknologi, sambil tetap mempertahankan interaksi tatap muka.
Kita juga tidak boleh melupakan penanaman nilai-nilai sosial dalam kurikulum sekolah. Materi pelajaran yang mengedepankan pentingnya kerja sama, empati, dan komunikasi yang efektif harus lebih diutamakan. Kegiatan di luar ruangan yang melibatkan siswa dalam permainan tim dapat menjadi cara efektif untuk memperkuat ikatan sosial sementara mereka juga belajar tentang kerja sama.
Akhirnya, tantangan terbesar terletak pada pencarian keseimbangan. Sekolah harus mampu memberikan pelajaran yang relevan dengan perkembangan teknologi tanpa mengabaikan pentingnya interaksi sosial. Bagaimana kita bisa mendesain pendidikan yang modern namun tetap menghargai dan mendorong hubungan yang sehat antar siswa? Ini adalah pertanyaan yang memerlukan perhatian dan kolaborasi dari semua pihak: pemerintah, sekolah, orang tua, dan siswa itu sendiri.
Di abad ini, saat teknologi terus berkembang, kita dihadapkan pada pergeseran besar dalam cara pendidikan dilakukan. Di satu sisi, digitalisasi menawarkan peluang yang belum pernah ada sebelumnya; di sisi lain, ia juga menantang tradisi relasi sosial yang telah terbangun. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempertimbangkan tidak hanya manfaat dari digitalisasi, tetapi juga dampaknya terhadap hubungan sosial para siswa di dalam dan di luar kelas.






