Dilema Kuasa Tubuh di Era Digital

Dilema Kuasa Tubuh di Era Digital
©WinNet

“aku menghidupkan tubuhku … tubuh adalah sebagaimana aku tampak … aku adalah tubuhku yang menunjukkan isi siapa aku.”

Demikian dentuman anomis filsuf eksistensialisme kontemporer Prancis; Jean Paul Sartre (1905-1980). Dentuman ini digunakan Sartre untuk menentang kejayaan filsuf idealisme Descartean. Sartre seakan-akan hendak ingin menegaskan bahwa tubuh adalah diri, dan diri adalah tubuh. Dan, meletakkan intesionalisme pada yang berwujud; kebertubuhan.

Memang harus diakui, di akhir abad ke-20, memasuki abad ke-21 ini, ternyata konsep kebertubuhan banyak ditandai pelbagai perubahan yang sifatnya sangat mendasar. Perubahan dasar ini juga mengubah kesadarasan manusia tentang realitas dunianya. Missalnya, dari geografi fisik menjadi geografi elektronik, hingga ada yang mengatakan kalau konsep “negara”, “bangsa”, “ideologi”, saat ini sudah tak relevan lagi.

Ini harus dibaca sebagai bagian dari bentuk kewaspadaan terhadap aspek formatif-ideologis. Di mana di sisi lain ada batas antara dunia imajiner teknologi audio-visual dan dunia realitas yang justru makin kabur, serta kultur global universal makin menemukan bentuknya.

Di sisi lainnya kesadaran tentang “lokalitas”, partikularitas, dan keberagaman dunia makin meningkat. Bentuk dunia semacam ini lagi-lagi manusia post-modernisme dihadapkan pada paradoks.

Atmosfer paradoks abad ke-21 ini terkait pada katagori yang dahulu berlaku sekitar konsep “kebertubuhan”. Sebagai contoh misalnya, analogi “kiri” dan “kanan” dalam ideologi politik menjadi makin kacau dan tak menentu bersamaan dengan mengikisnya ideologi komunisme di beberapa negara dunia, dan merangseknya sistem kapitalis dengan komunikasi globalnya.

Ditambah lagi, muncul dan berkembangnya teori-teori dan pendekatan feminisme seperti beauvoir yang menghantam bias patriarki tubuh, serta menuntut kembali perumusan ulang tentang hakikat dan konsep tubuh yang selama ini berkembang.

Tentu, kajian tentang kebertubuhan makin menarik, karena di abad ini ada dua gejala ekstrem yang muncul bersamaan, dan keduanya saling bertentangan. Di satu pihak kajian tentang tubuh berkembang dan dipuja dalam pencitraannya. Di pihak lain, juga menjadi simbol kekerasan yang selalu disiksa dalam praksis, “dicincang” dalam kehidupan keseharian.

Keberadaan tubuh kini demikian ekstensif sekaligus intensif. Ekstensif karena ia telah menjadi dan selalu berada di ranah visualisasi yang ada di mana-mana. Ia kini ada pada billboard iklan, di televisi, dan aneka video, di majalah, koran dan tabloid, bahkan di segala tempat kita akan bertemu dengan pencitraannya dengan senyuman sumbringah. Seolah-seolah menjadi satu-satunya bahasa komunikasi yang paling ampuh dimengerti oleh semua kalangan untuk menarik pangsa pasar.

Kian intensif, karena dalam sejarahnya kita belum pernah mendapati tubuh menjadi tema dalam kajian refleksi filosofis, dan perenungan estetis secara mendalam layaknya beberapa dekade sebelumnya. Dalam pandangan masyarakat kontemporer, ia lebih banyak digunakan sebagai mekanisme dalam menunjukkan perubahan status sosial.

Kalau di era klasik kita mendapati “ketelanjangan” dan ketertutupan menjadi fokus kajian para seniman dan filosof, maka di era post-modernisme, kajian tentang kebertubuhan tak lagi diklasifikasi antara keduanya sebagai klasifikasi religius, akan tetapi lebih banyak memakai paradigma laku di pasar sebagai komoditas dan konsumsi kapital.

Baca juga:

Saat ini, pencitraan tubuh ideal makin sangat gencar dilakukan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, termasuk di dalamnya internet. Adanya media digital dengan segala atribut dan platform-nya bisa jadi malaikat dan setan sekaligus dalan penjinak tubuh.

Ketika kita berbicara tentang tubuh di media digital, bukan lagi sekadar tentang sebongkah tulang, daging, dan kulit, melainkan media konstruksi sosial, kultural, ekonomi dan politik, bahkan juga ada agama di dalamnya.

Kita bisa lihat pada konstruksi melalui tanda-tanda yang dikemas oleh para kapitalis sedemikian rupa untuk menggoda para konsumen. Melalui perkembangan media digital ini para kaum kapitalis bisa mengeruk keuntungan produsen dari produk pendukung citra ideal yang mereka pasarkan. Makin tubuh mampu memperlihatkan citra ideal, makin tinggi nilai komoditasnya.

Kalau dalam masyarakat religius tradisional tubuh didisiplinkan dan dikontrol agar masuk dalam interioritas yang terdalam, maka di tengah masyarakat digital, perilaku dan tampilan tubuh direkayasa agar eksterioritasnya lebih meningkat dan memikat lagi.

Kini tubuh sebagai produk selalu ada dan muncul dalam status Facebook, cuitan Twitter, serta baliho dan bahkan pamflet. Ia tampil sebagai promosi, propoganda hingga agitasi politik sekalipun. Meskipun demikian, interaksinya dan media digital untuk saat ini dapat dikatakan sangat dinamis. Karenanya, tak mengherankan kalau di sebagian masyarakat berkembang jargon “memanfaatkan media atau dimanfaatkan media”.

Mau tak mau, apa dapat dikatakan telah merusak konsepsi awal tentang “tubuh” hingga sosoknya tak jelas lagi? Tentu, pandangan masyarakat tak bisa salahkan sepenuhnya. Sebab, ketika memasuki milenium ketiga, ia secara politis dan filosofis tumbuh bersamaan dengan berbagai konstruksi ilmiah yang pada akhirnya dapat dikatakan kehilangan bentuk tubuh sebenarnya.

Dalam perkembangan ilmu kedokteran mutakhir semisalnya, secara tak sengaja memang mendorong konstruksi tubuh untuk menjadi lebih mekanistik dan materialistik. Bedah plastik dan pencangkokan yang beberapa tahun terakhir marak dilakukan merupakan salah satu perkembangan yang paling cepat dalam ilmu kedokteran, baik Eropa, Amerika Serikat dan juga Asia, termasuk di  Indonesia, sebagai contoh nyata.

Tubuh lebih banyak bersifat plastik, dan dapat dibentuk, serta dipilih berdasarkan kebutuhan atau tingkah lakunya komuditas. Lebih dari itu, ia bukan lagi hanya plastik, tapi juga bionik dengan jantung buatan, katup-katup, panggul titanium, pembuluh darah polimer, mata elektronik atau implantasi, urat kolegan dan kulit karet silikon, bahkan kini berkembang jantung poliurethane.

Kemajuan teknologi reproduksi baru, termasuk di dalamnya vertilisasi in vitro, inseminasi buatan, ibu penganti, pembekuan emberio dan penelitian atas kandungan buatan dan implantasi embrio dalam tubuh laki-laki yang beberapa tahun terakhir ini marak, ternyata dianggap melahirkan persoalan etis tentangnya dan kemanusiaan.

Bagi para mekanik, hal semacam ini tentu bukan suatu masalah yang fundamental. Namun bagi para penganut agama fundamental, seperti Kristen dan Islam, membedah tubuh tak hanya menodai melainkan telah merusak ciptaan Tuhan atau bait roh kudus sebagai “pemberian” atau hadiah dari Tuhan yang harus disyukuri.

Belum lagi, tubuh dihadapkan pada ketergantungan mesin: mesin diagnostik dangan berbagai bentuk perkembangannya, CAT scans, monitor jantung, ultra-sound. Bahkan, sudah mencakup seluruh kehidupan; begitu lahir langsung masuk inkubator, mesin dialisis dan paru-paru besi, alat pernapasan, serta sistem pendukung hidup lain yang akan terus menyala sampai meninggal.

Pada akhirnya, dapat dikatakan manusia yang demikian, sama dengan mesin, dapat “dinyalakan” dan “dimatikan”. Garis antara manusia dan mesin menjadi makin buram. Demikian juga garis antara kehidupan dan kematian.

Syahuri Arsyi
Latest posts by Syahuri Arsyi (see all)