Dilema Romantisisme pada Perempuan: Cinta Tak Harus Politis

Dilema Romantisisme pada Perempuan: Cinta Tak Harus Politis
©Sakomar World

Tausiah ataupun sabda soal harum dan ranumnya cinta merupakan relasi yang begitu menggairahkan di kalangan lintas generasi. Cinta dalam pendefenisiannya yang universal bisa menarik seseorang yang di mana diperankan oleh laki-laki dan perempuan untuk ingin mengenalinya secara totalitas.

Memang benar apabila kita membahas tentang cinta, ini mungkin tidak berujung pada fondasi-pandangan yang pas kenapa bisa dinamakan cinta. Kendati demikian, rasa setiap orang mencintai itu seakan-akan diam-diam menyelinap dan tetap hidup, tidak dapat “tertebak” akan tetapi acapkali “menjebak”.

Pembahasan ini akan lebih kepada keberadaan tubuh perempuan yang mungkin tanpa sadar menghadapi dilema sebelum atau sesudah mencintai hingga berakhir pada proses sakral, yakni pernikahan.

Masa pacaran terkadang menyisipkan duka karena di sana ajang menentukan pasangan bagi para pecinta tak jarang terjadi kekerasan seksual tanpa adanya persetujuan (consent). Sebaliknya, bila pasangan itu melakukannya atas dasar suka sama suka dan kemudian laki-laki let she go hanya untuk mempermainkan perempuan yang dicintainya itu merupakan tindakan kebiadaban laki-laki.

Terasa sulit bagi perempuan menerima kenyataan pahit yang dialaminya ketika terjebak pada konsep laki-laki yang mengkhianatinya itu mengurai janji manis, tampan, mapan yang dapat menjamin kehidupan materialistisnya. Dari kriteria seperti itu, perempuan terfokus dan akan membabi buta untuk melakukan segalanya demi pria yang sangat ia cintai sehingga ia hanya mendapat penderitaan.

Dari kesalahan itu, seorang psikoanalis Erich Fromm mengemukakan konsepsi gagasan dasarnya, yakni Care (perhatian/kepedulian), Responsibillity (tanggung jawab), Respect (hormat) dan Knowledge (pengetahuan). Setidaknya, dengan memenuhi dan mempelajari konsep tersebut, kita dapat menjajaki asmara dengan orang yang benar-benar dicintai, sehingga saling mengimplementasikan secara dua arah untuk tiba pada cinta yang setara.

Romantisisme Semu Sembilu

Menanggapi persoalan ini, pada tahun 80-an oleh para feminis yang memandang cinta yang produktif, di antaranya Luce Irigay, Julia Kristeva, Bell Hooks, Audre Lodre, dan masih banyak lagi, mereka menganggap cinta sebagai ideologi yang melegitimasi penindasan perempuan dan yang membuat mereka terjebak dalam hubungan heteroseksual yang eksploitatif. Selain itu, cinta juga dipandang membuat perempuan itu sangat rentan, bukan hanya terhadap eksploitasi tetapi juga akan tersakiti oleh laki-laki.

Kaum puritan dalam naungan filsuf Rousseau mengatakan bahwa cinta sejati harus diperoleh tanpa hasrat seksual, ditambah lagi oleh kaum pesimis menyatakan “cinta romantis” akan selalu gagal karena hasrat seksual adalah hal yang paling utama dalam cinta. Hasrat yang dipengaruhi hormone bisa muncul meskipun bukan kepada orang yang dicintai.

Baca juga:

Para pejuang perempuan feminis maupun laki-laki yang memiliki paham feminism melihat perempuan yang memberhalakan cinta romantis (romantic love) secara lebih mendalam dan kritis. Dikarenakan, mengingat romantis merupakan pusat heteroseksual dan ketidaksetaraan itu berasal. Jadi, sebetulnya kata “romantis” tidak perlu diprioritaskan untuk melihat itu sebagai cinta dan soal cara menyampaikan rasa sayang.

Perempuan jika dilihat dalam kerangka Islam sangat diistimewakan. Selain itu, perempuan juga dinobatkan sebagai kaum “perasa dan agung”. Perempuan sangat mudah sensitif, ketika ada masalah kecil yang dibesar-besarkan, kemudian laki-laki fuckboy alias buaya memilih menyudahi hubungannya tanpa ethic of care, di sini perempuan merasa sesak.

Tulisan suara yang ingin membela kebertubuhan perempuan agar supaya ia tidak mudah terjebak ke dalam lubang narasi romantisisme semata meskipun penulis sendiri berstatus lajang bin jomlo bertahun-tahun lamanya.

Kembali ke bahasan, bukan hanya keromantisan saja yang membuat perempuan terjebak, melainkan perempuan kerap dihadapkan pada soal materi dan mengabaikan bahwa pentingnya menemukan pendamping hidupnya adalah laki-laki yang mempunyai “otak/pikiran berpaham feminisme” dalam menuntun sebuah hubungan.

Ini memang sangat luas jika dijabarkan, namun intinya dengan cara itu kita bisa membawa pasangan pada hubungan yang sehat dan tidak mengecewakan. Karena aktivitas berpikir logis dan objektif sering kali diabaikan dalam menjalani hubungan.

Institusi Pernikahan

Pemaknaan cinta hanya dapat diraih atau diperoleh secara intuitif pada tataran perasaan dan tidak dapat dikomunikasikan dengan tepat (Jakson, 1999). Apa yang dikemukakan Jakson menginisiasi bahwa cinta dipandang sebagai suatu kebutuhan dan hasrat personal dan lebih cenderung menaruh kata itu ke ruang privat.

Dalam gagasan cinta tersebut tidak dapat terpisahkan dari konstruksi sosial dan budaya yang sebenarnya ikut memengaruhi dan sebagai penuntun dalam menentukan makna dan defenisinya. Tapi kita sangat abai mengkaji hal tersebut dan diterima begitu saja dengan pasrah. Penafsiran cinta memiliki dua tempat dominan (Grossi 2014) di mana itu dipandang mempunyai keterikatan atau hubungan yang sangat kuat dengan Patriarki dan Heteroseksualitas.

Pernikahan yang membawa narasi cinta khususnya bagi perempuan memang kebanyakan memiliki proposisi yang mengarah pada keluarga, rumah tangga, relasi monogami/dipoligami, sisi keibuan dan kesetiaan. Dari hal tersebut dapat kita menebak bahwa bagi perempuan cinta dan pernikahannya sebagai seorang istri yang sibuk mengurus rumah dan menjadi ibu.

Halaman selanjutnya >>>