Diskursus Humanisme dalam Konteks Sains

Diskursus Humanisme dalam Konteks Sains
©Viralnovelty

Istilah humanisme mempunyai riwayat dan pemaknaan yang kompleks. Humanisme sebagai sebuah terma mulai kita kenal dalam diskursus wacana filsafat sekitar awal abad ke-19.

Menurut K. Bertens, istilah ini baru manusia gunakan pertama kali dalam literatur di Jerman, sekitar tahun 1806 dan di Inggris sekitar tahun 1860. Istilah humanisme berawal dari term “humanis” atau “humanum” (yang manusiawi) yang jauh lebih dulu manusia kenal, yaitu mulai sekitar masa akhir zaman skolastik di Italia pada abad ke-14 hingga tersebar ke hampir seluruh Eropa di abad ke-16.

Terma humanis (humanum) tersebut bermaksud untuk menggebrak kebekuan gereja yang memasung kebebasan, kreativitas, dan nalar manusia yang terinspirasi dari kejayaan kebudayaan Romawi dan Yunani. Gerakan humanis berkembang dan menjadi cikal bakal lahirnya renaissance di Eropa (Jasman al-Mandary, 2009).

Dalam perkembangannya, humanisme di Eropa menampilkan pertentangan yang cukup gigih terhadap agama (dalam hal ini Kristen). Pertentangan ini mencapai puncaknya ketika Augusto Comte mendeklarasikan “agama humanitarian” dan menggantikan agama yang ia anggap tidak humanis.

Pertentangan ini terus berlangsung. Hingga di pertengahan abad ke-20, para pemuka Kristen mulai memberi ruang apresiasi bagi humanisme dan pada konsili Vatikan II (1962-1965). Pihak Katolik memberi respons positif terhadap humanisme.

Namun lucunya, ketika kalangan agama mulai mengapresiasi humanisme, diskursus filsafat justru mempropagandakan antihumanisme. Khususnya dengan wacana “kematian manusia”-nya Michel Foucault dan “absurditas manusia”-nya Albert Camus.

Secara etimologis, humanisme berarti isme atau aliran tentang manusia. Humanisme dapat juga kita terjemahkan sebagai “manusiaisme” (Antonius, 2008).

Dengan kata lain, akar purba humanisme adalah paideia. Paideia bermaksud untuk membingkai segala maksud dan usaha manusia dalam rangka merengkuh cita-cita manusia ideal sebagai makhluk individual dan sosial (Bartolomeus Samho, 2008).

Baca juga:

Bila kita garis bawahi, humanisme menekankan pada perkembangan dan pembelajaran manusia (Kevin O’Donnel. 2009). Jadi, humanisme merupakan salah satu gerakan dalam filsafat yang menjunjung tinggi manusia dan mendudukkan manusia dengan nilai-nilai yang tinggi. Sedangkan humaniora adalah studi tentang kemanusiaan yang lahir pada zaman Renaissans abad ke-15. Studi humanitas ini meliputi grammar, sejarah, retorika, puisi, dan etika (Antonius Subianto, 2008).

Untuk mendalami hal ini, kita membutuhkan filsafat ilmu. Menurut Rene Descartes, ‘Semua filsafat ibarat sebuah pohon’, dan lanjutnya ia katakan bahwa ‘Akarnya adalah metafisika, batang tengahnya ialah fisika, dan cabang-cabangnya ialah semua ilmu lainnya’ (Fritjof Capra, 2001).

Jadi, humaniora adalah salah satu ilmu pengetahuan yang mempelajari apa yang manusia ciptakan sekaligus yang pertentangkan dengan ilmu pengetahuan alam.

Humanisme dan humaniora sangat berkaitan erat. Manusia ditinggikan nilainya, pendapatnya dihargai. Ilmu pengetahuan makin berkembang karena manusia mendapat kebebasan untuk mengembangkan keilmuannya, pola pikirnya, serta dapat mengeksplorasi kemampuannya.

Budaya Literasi Humanisme

Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Mendapat tunjangan dari kemajuan teknologi, hal ini menjadikan persepsi kita terhadap ruang menjadi sempit dan kontemporer terhadap waktu (Sri Utami U. P, 2013). Dengan begitu, pertukaran informasi menjadi sangat masif dan dapat membiaskan batas humanistik.

Seorang pakar teknologi Indonesia, M. T. Zen (2000) dalam sebuah artikelnya Teknologi Nano dan Revolusi Industri Abad ke-21 mengatakan bahwa pada awal abad ke-21 ini, tiga bidang teknologi menguasai dunia, yaitu teknologi informasi, bioteknologi, dan teknologi Nano.

Dalam perkembangan yang mutakhir, masih ada satu bidang yang sedang negara-negara maju (terutama Amerika) upayakan, yakni teknologi Terraformasi, sebuah penjajakan manusia untuk membuat struktur kehidupan baru di ruang angkasa.

Lalu di manakah relevansi bidang humaniora terhadap perkembangan teknologi-teknologi tersebut? Hasil-hasil positif dari sains dan teknologi tentu tak bisa kita ragukan. Yang perlu kita waspadai adalah aspek ideologis dan paradigmatisnya (Bambang Sugiharto, 2008).

Halaman selanjutnya >>>
Kontributor