
Pertarungan ide atau nalar dalam diskursus politik menjadi ciri khas masyarakat demokratis.
Pada dasarnya politik adalah sebuah ruang kebebasan publik yang menyatukan pluralitas manusia dengan tujuan membawa manusia kepada kebaikan tertinggi (to ariston), yaitu kebaikan bersama.
Untuk mencapai kebaikan tertinggi tersebut, maka dibangun sebuah “ruang” sebagai panggung kontestasi untuk mengartikulasi identitas politis setiap orang. Karena itu, pertarungan ide atau nalar dalam diskursus politik menjadi ciri khas bagi masyarakat komunikatif, diskursif, dan demokratis.
Ruang Publik
Ruang publik memiliki definisi sebagai wadah untuk mengomunikasikan ide, pandangan, dan informasi. Di dalam ruang publik terjadi komunikasi timbal balik antara kedua belah pihak dengan intensi dasarnya mencapai pemahaman bersama.
Pada abad ke-18 di Prancis dan Inggris, masyarakat bertemu dan bertukar pikiran secara bebas. Dalam keadaan tersebut, masyarakat bertemu dan berdebat secara kritis dan bebas tanpa ada diskriminasi dan intimidasi.
Dengan demikian, terbentuklah masyarakat sipil (civil society), yaitu masyarakat yang berbagi minat, nilai, dan tujuan tanpa paksaan. Kondisi ini bertentangan dengan konsep negara otoriter dan totaliter yang memberangus seluruh kebebasan warganya.
Pada perkembangannya, ruang publik tak hanya bersifat fisik, tetapi ruang terjadinya proses komunikasi berlangsung. Dalam konteks politik, ruang publik memiliki definisi sebagai ruang terjadinya dialog, baik antarwarga negara, warga negara dengan penguasa, maupun antarpenguasa. Oleh karena itu, ruang publik adalah wadah paling optimal untuk berkontestasi dan berdialog tentang pandangan politik.
Pandangan dialogis tentang politik dalam negara demokrasi sangat menekankan keterlibatan warga negara. Demokrasi dialogis berhubungan dengan pencarian kebenaran (truth-seeking) dan bertukar pikiran (reason-exchanging).
Baca juga:
Dalam model dialogis, keputusan politik lahir berdasarkan diskursus dan pertimbangan bersama di ruang publik. Dengan demikian, keterlibatan warga negara untuk berkontestasi atau berdiskursus dalam ruang publik politik menjadi yang rasional dalam demokratis.
Lalu bagaimana kita menempatkan self esteem dalam konteks discourse?
Nalar Politik
Politik itu bersifat rasional karena berkenaan dengan abstraksi berpikir dan tindakan praksis yang konkret. Konsep normatif rasionalitas politik memungkinkan warga negara bertindak berdasarkan pilihan atau keyakinan terhadap suatu pandangan yang menjadi standar-standar logis yang dapat kita verifikasi dan pertanggungjawabkan dengan nalar.
Abstraksi berpikir harus membawa kita kepada praksis tindakan. Inilah tugas teori kritis untuk menggabungkan teori dan praksis agar masyarakat tidak terjebak pada dominasi irasionalitas.
Teori kritis harus memberi penyadaran terhadap kondisi masyarakat dari segala ekses irasionalitas dan mendorong perubahan atau transformasi sosial melalui penalaran yang benar. Para pendidik dan pemimpin tidak boleh hanya bermain-main dengan pikiran, tetapi harus ada tindakan praksis yang rasional.
Oleh karena itu, persoalan rasionalitas dalam ranah politik merupakan dialektika menuju justifikasi keadilan politik yang dapat kita purifikasi dengan akal sehat.
Persoalan ketidakadilan (injustice) membawa orang pada teori kritik untuk menyaring keadilan. Politik itu sebenarnya soal relasi-relasi sosial, kekuasaan dan institusi. Sentral dalam teori keadilan adalah kritik.
Dalam tatanan politik, kritik itu penting. Putusan estetis justru menjadi indah karena ada kritik. Manusia sebagai subjek rasional dalam terang akal budi praksis (baca: Emanuel Kant) mempunyai kapasitas untuk menjustifikasi diri.
Dalam hidup komunitas tentu punya banyak pandangan, bahasa, dan relasi-relasi sosial. Dengan demikian, manusia harus sanggup memahami diri bahwa apa yang ada di balik justifikasi itu adalah just, adil.
Halaman selanjutnya >>>
- Demokrasi dan Tanggung Jawab Berpikir - 1 April 2022
- Diskursus Nalar Politik - 26 Januari 2022
- Covid-19: Penyingkapan atas Eksistensi Manusia - 25 Juli 2021