
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia Ade Armando ditolak jadi Guru Besar. Kuat dugaannya, ia adalah korban politik islamis tarbiyah di kampus berjuluk Jaket Kuning dan Kampus Perjuangan ini.
“Gerakan islamis tarbiyah sudah sangat menguat di UI, termasuk menduduki banyak posisi Guru Besar. Mereka akan mempersulit karier mereka yang berani melawan gerakan tersebut. Saya duga, saya adalah korban politik islamis tarbiyah ini,” kata Ade dalam keterangan tertulisnya, Kamis (1/8).
Melalui catatan Saya Ditolak Menjadi Guru Besar UI karena ‘Integritas dan Etika’ Saya Dipertanyakan itu, Ade mengaku sudah menduga sebelumnya akan ditolak. Ia pun membeberkan bagaimana proses penolakan itu dengan segala kontroversi yang menyertainya.
“Sebenarnya tidak ada kata resmi ‘ditolak’. Tapi Dewan Guru Besar UI bersikap bahwa selama saya tidak berhenti menyuarakan pandangan saya yang menimbulkan ‘kontroversi’, mereka tidak akan menerima saya sebagai anggota Dewan Guru Besar UI.”
Ade juga memberi catatan, untuk menjadi Guru Besar di UI, setiap calon harus mendapat persetujuan dari semua Guru Besar di kampus ini. Baru kemudian nama yang bersangkutan bisa diajukan ke Departemen Pendidikan Tinggi untuk disetujui Menteri.
“Nama saya diajukan untuk menjadi Guru Besar oleh Departemen Ilmu Komunikasi pada Mei 2016. Kini, tiga tahun kemudian, sudah jelas DGB UI menolak permintaan tersebut.”
Meski secara kualitas akademik tidak bermasalah, tetapi penolakan untuk dirinya dinyatakan bermasalah dari aspek integritas, etika, serta tata krama.
“Kepastian ini saya ketahui dari hasil Rapat DGB 20 Mei 2019 dan penjelasan Ketua Komite Etik, Prof. Adrianus Meliala, pada rapat di FISIP UI 31 Juli, pukul 16.00.”
Dasar Penolakan
Pada rapat DGB 20 Mei 2019, terang Ade, dinyatakan bahwa usulan Guru Besar atas nama dirinya masih perlu mendapat pertimbangan lebih lanjut dari Komite Etik DGB. Itu terkait kinerja, integritas, etika, tata krama, dan tanggung jawabnya sebagai pengajar.
“Apa yang dimaksud DGB, saya tidak berintegritas dan tidak beretika? Tidak ada penjelasan.”
Lalu, pada rapat 31 Juli 2019, Adrianus menyatakan Komite Etik tidak dapat menerimanya sebagai Guru Besar. Alasannya, DGB tidak setuju dengan cara dirinya berkomunikasi melalui media sosial.
“Menurutnya, tulisan-tulisan saya menimbulkan kontroversi yang memberi beban bagi UI. Komite Etik ingin agar setiap Guru Besar dapat menjaga martabat UI.”
Di sisi lain, pencalonan Ade Armando juga bermasalah karena ada masyarakat yang mengirimkan keberatan.
“Begitu juga, banyak pihak mengingatkan bahwa saya masih dalam status ‘tersangka’ dalam kasus tuduhan pencemaran agama (karena saya menyatakan “Tuhan Bukan Orang Arab’ di status FB dan Twitter saya), dan diadukan oleh masyarakat ke polisi dalam tujuh kasus lainnya.
Masih menurut Adrianus, Komite Etik juga menilai Ade baru bisa diterima di DGB kalau ia bisa mengubah cara berkomunikasinya. Dan, seluruh (delapan) kasusnya di kepolisian itu sudah selesai sampai tuntas.
“Sebenarnya tidak ada aturan tertulis dalam Kode Etik DGB terkait dengan pelarangan seseorang berstatus tersangka atau teradu menjadi anggota DGB. Namun menurut Komite Etik, tidak pantas bagi saya untuk diajukan menjadi anggota DGB.”
Adrianus mengaku bahwa sikap Komite Etik itu bukanlah pendapat pribadinya sebagai ketua. Komite Etik terdiri dari 12 orang. Dan, saat ini, mayoritas anggota Komite Etik menolak menerima usulan Ade Armando menjadi DGB.
“Lucunya, tidak satu kali pun DGB bisa menunjukkan bukti-bukti untuk menunjukkan tulisan-tulisan mana yang membuat saya dianggap ‘tidak berintegitas, tidak etis’ tersebut. Saya berulang kali meminta, tapi DGB tidak menunjukkannya.”
Tetap Kukuh
Meski penolakan demi penolakan telah dialami, Ade Armando mengaku tetap kukuh dan konsisten pada pandangan dan pendirian. Baginya, lebih baik tidak jadi Guru Besar daripada harus berhenti menyuarakan apa yang dipercayainya sebagai kebenaran.
“Saya selalu katakan, lebih baik saya tidak menjadi profesor daripada saya harus berhenti menyuarakan apa yang saya percaya sebagai kebenaran yang harus saya perjuangkan.”
Hal itu juga ia tunjukkan ketika diminta untuk menahan diri menulis ulasan-ulasan kontroversial di media sosial.
“Selalu saya katakan, saya tidak mau berhenti bersuara keras melawan mereka yang menyebarkan hoaks, fitnah, kebencian; mereka yang terus memecah belah bangsa; mereka yang anti-NKRI; mereka yang menindas non-muslim; mereka yang menindas sesama muslim tapi berbeda pandangan dengan mereka; mereka yang menyebarkan kebencian pada Tionghoa; mereka yang terus menghina dan memfitnah pemerintahan Jokowi; mereka yang berusaha menegakkan Syariah; mereka yang berusaha menegakkan Khilafah; mereka yang menindas kaum perempuan; dan hal-hal sejenis yang lazim saya suarakan di media sosial.”
Karena itu, ketika sekarang ia tahu bahwa Dewan Guru Besar UI tidak akan membiarkan dirinya menjadi Guru Besar, ia tidak kaget. Itu adalah hal yang sangat bisa ia prediksi.
“Buat saya pribadi, ini biasa-biasa saja. Suka-suka merekalah. Saya cuma berharap pengalaman saya ini tidak akan membuat para pembela NKRI surut semangatnya untuk memperjuangkan kemuliaan bangsa ini. Kalau kita terus memperjuangkan kebenaran, kita tidak akan kalah kok. Ever Onward!”
- Perilaku Jokowi ke PDI Perjuangan Dinilai Kurang Pantas - 24 November 2023
- Publik Percaya Jokowi Sedang Membangun Politik Dinasti - 23 November 2023
- Keputusan MK Tidak Adil, Hanya Memenuhi Keinginan Gibran Menjadi Cawapres - 13 November 2023