DPR Kita, Makin Sakti Makin Sakit

Apa yang masalah dalam pasal ini? Selain bermasalah di wilayah peran dan fungsi MKD, soal “langkah hukum dan/atau langkah lain” juga turut jadi penambal. Belum lagi soal makna “merendahkan” dalam kalimat pasal itu. Tidak jelas.

Kita tahu, peran MKD sebagai lembaga kehormatan dari dan untuk anggota dewan hanya sebatas penjaga kehormatan saja. Ibarat anjing, MKD tak bisa dilepas untuk melampaui tugas mulianya. MKD, hematnya, hanya bertugas menjaga tanpa harus ada imbuhan berupa sikap reaktif.

Adapun soal “langkah hukum dan/atau langkah lain” itu, artinya bahwa MKD memang diarahkan untuk melampaui kerja-kerja dasarnya. Jika memang mau konsisten pada tugas, maka kerja sebagai penjaga ya menjaga saja. MKD tak boleh ikut-ikutan jadi tukang lapor segala.

Selanjutnya tentang definisi merendahkan yang juga tidak jelas itu. Saya pikir begini: jika memang harus ada yang dinilai merendahkan, maka mereka sendirilah, anggota DPR kita, yang merendahkan derajat itu melalui pembentukan UU MD3 dengan isi yang sama sekali tak pantas terbakukan.

Ini pulalah yang menjadi satu dasar mengapa petisi bertajuk DPR Tidak Boleh Mempidanakan Kritik! itu Koalisi UU MD3 layangkan. Ia patut memprakarsainya demi sehatnya arah pengelolaan bangsa ini ke depan.

“Tiap orang yang dianggap merendahkan DPR dapat dipenjara. Ini adalah upaya membungkam masyarakat yang ingin mengkritik DPR. DPR seakan menjadi lembaga otoriter. 250 juta masyarakat terancam dengan peraturan ini, apalagi jelang pilkada, pileg, dan pilpres. Mau bentuknya seperti meme Setnov dulu, ataupun tweet, bahkan jadi kutipan di media sekalipun bisa kena,” begitu terang poin 1 petisinya.

Dan yang ketiga, Pasal 245 tentang pemeriksaan anggota dewan yang terlibat kasus hukum harus melalui pertimbangan MKD terlebih dahulu. MKD patut memberi nilai sebelum putusan itu terlimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin selanjutnya.

Baca juga:

Apa-apaan ini? Rakyat saja, yang sejatinya adalah bos dari wakil rakyat (anggota DPR), tidak punya keistimewaan seperti itu jika ada yang melaporkannya ke pihak berwajib. Kalau salah, ya salah saja. Tiap orang berhak melaporkannya ke polisi, lalu memanggilnya untuk menghadapi kasus hukumnya.

Bukankah semangat kesetaraan di mata hukum harus negara kedepankan? Kalau aturan ini benar-benar berlaku, maka semangat pemberantasan korupsi, misalnya, pun bisa jadi akan terhambat. Pencurian uang rakyat kok kita kasih toleransi istimewa seperti itu? Ya hancur bangsa ini kalau begitu; hal mendesak tak jadi prioritas!

Lari dari Tujuan

Dari tiga pasal tersebut, tak satu pun yang mengindikasikan tujuan perumusan UU MD3. Kita ketahui bahwa tujuan pembentukan pasal tersebut adalah untuk meningkatkan kinerja DPR sebagai lembaga yang punya fungsi perwakilan dan pengawasan.

Apa yang Ketua MPR Zulkifli Hasan sampaikan bahwa DPR harus punya hak imunitas agar optimal kinerjanya sama sekali tak bisa kita benarkan.

Bagaimana bisa optimal kalau kritik guna perbaikan kinerja saja harus dibatasi sedemikian rupa? Jika pun alasannya demi memperkuat eksistensi, maka tunjukkan itu melalui menjadi lembaga yang bersih dari suap dan korupsi. Bukan dengan membentengi diri dari kritik, wahai anggota-anggota dewan yang terhormat!

Itu baru 3 pasal. Bagaimana soal penambahan jumlah pimpinan yang juga tercantum dalam revisi UU MD3? Apa kaitannya memang dengan peningkatan kinerja DPR?

Sungguh, kuantitas tak bisa menjamin kualitas kerja. Justru, makin gemuk kepengurusan suatu lembaga, maka makin lambat ia akan bekerja.

Tentang hal ini, kita patut mencontoh Jokowi atau Ahok, yang selalu berupaya meminimalkan teman kerjanya. Bagi mereka, mengelola keuangan negara/daerah secara efektif dan efisien jauh lebih berguna dari sekadar memanfaatkan itu untuk kepentingan segelintir orang. Sangat bedalah dengan kepengurusan DKI Jakarta di tangan Anies-Sandi hari ini.

Ya, seperti penambahan pimpinan di DPR, banyaknya orang-orang yang Anies-Sandi jadikan pembantu kerjanya, tak ada poin lain yang bisa kita tangkap selain hanya untuk menghabiskan anggaran dana saja.

Baca juga:

Kalau kata Koordinator Formappi, Sebastian Salang, tidak ada penjelasan yang bisa akal sehat terima selain untuk memenuhi hasrat atau libido kekuasaan dari mereka yang sedang menyusun UU itu. Sakit, itulah yang DPR lahirkan melalui pengupayaan kesaktian untuk dirinya.

*Sebelumnya terbit di Geotimes, 26 Februari 2018

Latest posts by Maman Suratman (see all)